0

Bukan Salah Presiden

 

Maka tibalah pena, pada tajuk sejarah suatu pagi

Menuliskan kisah hitam putih sebuah generasi

Panjang bernarasi, nan lugas beropini, pun gegas berdikari

Selembar dari lelembaran dan satu dari sesatuan negeri

Ia baru saja melahirkan demokrasi

Warna harinya berwarta dan corak wartanya berhari

Menjual obral penjara tirani dan membeli mahal kebebasan pribadi

Ditawarkan pada pedagang kaki lima dan supir metromini

 

Layaknya maha saksi abadi

Lalu lelintasan tak pernah mati

Siangnya, hiruk-pikuk oleh celetuk rutuk para pengutuk

Petangnya, riuh kisruh oleh gemuruh para perusuh

Kata telah enyah percuma

Diumbar sangar di tengah kota

Sia-sia orasi, tak dapat solusi

Hanya simpati, sekedar apresiasi

 

Para awam geram

Negeri seribu lautan namun baru saja impor garam

Memaksa proletar berijazah kasar berduyun ke negeri tetangga

Mengadu aib sendiri tetiba berujung adu domba

Satu masalah belum jua usai kau tambah benih permusuhan lagi

Tak puas rupanya sudah menukar harga diri dengan sekeping roti

Merasa gagal menjadi negara lalu semua tunjuk tangan ingin berdiri di depan

Beryakin diri mampu menodong kemiskinan dengan senapan kebebasan

 

Nyatanya, ada yang terkoyak di sudut negeri nun antah berantah

Terjamah penjajah yang sempurna menjarah

Mula bersama bekerja, selanjutnya mereka yang kaya

Di depan duduk semeja, di belakang gencatan senjata

Negeriku bungkam, muram sembari terdiam

Sebab bicara satu jam puluhan hari ia dikecam

Maka aku mencari sepuluh pemuda

Yang tak cecuma pandai bicara, namun securah berkarya

Untuk negeri yang katanya akan mulai mendewasa

Meski hanya berbekal keterampilan membaca

 

Dan di akhir kisah, tenggelamlah perahu para pengumpat,

Di hadapan sekian jejuta rakyat.

 

Seratus hari mencoba sempurna

Tak cukup sederhana

Sewindu merubah wajah sejarah

Tak semudah membaca sumpah

Ini soal amanah

Hingga sesegala mutlak telak milik yang di langit

Sedang tugas kebangkitan hanya perlu bangkit

 

Bukan salah presiden,

Bahkan sampai membuatmu tak hendak punya argumen.

 

Di sebuah bumi yang mencintai langit, 09032014

Setetes tinta untuk Indonesia.

Dari saya, Roisiyatin.

 

 

0

Mamanda

 

Mamanda,

Kau Mamak terlebay sedunia.

Tiap hari Kau bertanya, jodohku siapa

Aku jawab saja,

Sudahlah, tunggu saja tanggal mainnya, Allah belum bocorkan rahasiaNya.

 

Manda,

Tiang arogansi terpancang  di ubun-ubun

Hanya akan runtuh sekali dalam setahun.

Bendera pongahku terpaksa kuseret turun

Hanya ketika aku berdiri di depan pintu rumahmu tertegun.

 

Telah kususur kelana seribu kata

Telah kupijak ranah sejuta warna

Telah kusinggah rumah seratus manusia,

Tak satupun rela mendekapku selamanya.

Tapi Kau Mamanda,

Selalu menyediakan untukku celah dada

Yang menampung tabungan kesah tumpukan cerita

Ya Kau Mamanda,

Selalu menyiapkan berlembar-lembar jiwa

Yang menerima simpanan tangis bulir-bulir asa

Dalam rapal demi rapal doa.

Mamandaku,

Akan kujejak sudut bumi

Dan kupanjat langit tertinggi

Untuk kubawakan Kau matahari.

 

Maafkan aku,

Bertahun bilangan aku tak tak datang

Karena anakmu ini telah lupa jalan pulang.

Aku amnesia mana pagi mana petang

Aku insomnia kapan malam kapan siang.

Karena ujian hidup kuhadang

Sebab ombak kutantang

Semua ini demi ummat yang gemilang.

 

Mamandaku,

Akan terus kudayung kapalku

Sejauh langit masih membiru

Akan terus kukayuh laju bahteraku

Seluas samudera pengabdian para guru

Akan kukibarkan cita-cita ummatku

Setinggi-tingginya,

Sejauh-jauhnya,

Tapi nanti…

Kau tetap pelabuhan terakhirku.

Medio Februari, 22022014

Di sebuah kota yang mencintai bumi