0

Hujan di musim kemarau [1] – Tu[h]an chapter 2

Untuk bertemu dengan orang yang tepat, Tuhan akan mematahkan hatimu berkali-kali. Itu katanya, kata para trainer dan motivator, celakanya, semua orang termakan bualan hiburan omong kosong yang sebenarnya bisa terjadi hanya karena sugesti. Haha, maaf aku jahat memang. Tapi hidup itu tidak sepositif itu, kawan.

“Setiap hari aku bermimpi, dapat berhari minggu dengan syahdu bersamamu. Bermalas-malasan di atas kasur, kamu tidur di pangkuanku, berpura-pura tidur, dan aku tidak akan pernah peduli kepura-puraan itu. Aku hanya akan bahagia memainkan anak rambut keritingmu. Lalu di lain waktu, kita akan berlari-lari kecil di pelataran rumah, ditemani dua gelas jus belimbing madu. Di akhir tahun, kita akan pergi mendaki, gunung tertinggi di Jawa, tempat terhebat yang menjadi cita-cita, Mahameru. Makanya, kadang aku senang memanggilmu Mahameru, kamu seolah destinasi hatiku”.

Rani khusyu mengeja aksara. Cepat. Tugas mingguan komunitas aksara, menulis fiksi di blog bersama.

Ponselnya bergetar halus.

“Maaf ya Ran”, pesan singkat Damar.

Rani hanya membaca, tak membalas. Bukan karena marah, tapi ia pun bingung ingin menjawab apa. Sudahlah. Nikmati saja, jika memang ada sebulir cinta diantara mereka, biarkan mengecambah, pada saatnya akan tumbuh ia akan tumbuh seperti yang seharusnya. Tapi jika memang bukan cinta yang Tuhan titipkan, biarkan ia kerontang tersengat matahari, dan kering di punggung tanah retak. Rani tidak jatuh cinta, ia bersikeras, ia hanya sedang gede rasa. Hidup memang tidak melulu soal cinta. Berjalanlah saja, hiduplah saja, maka hidup akan mempertemukanmu dengan orang-orang baru yang lebih sejalan.

Dulu ia pernah jatuh cinta, ketika duduk di kelas dua sekolah dasar. Bayangkan saja, enam tahun ia mengklaim diri jatuh cinta, mengagumi seseorang yang selalu bersaing nilai darinya, selalu duduk di deretan nomor pertama. Rani di belakangnya, di bangku nomor dua. Dan diam-diam selalu menyimak jawaban ketika sang guru memberi pertanyaan kepada murid-murid di kelasnya.

Kisah itu berlanjut hingga kelas enam. Lalu, cinta monyet itu kandas di tangan bully-an kawan – kawan yang lebih memilih menyandingkan nama pangeran hatinya dengan kawan sebangkunya. Tentu saja, karena ia kalah cantik, kalah tenar, dan yang paling jelas alasannya adalah karena ia diam. Kawan sebangkunya, bocah polos yang percaya diri, terlebih dahulu menyatakan cinta pada pujaan Rani. Dan cinta dalam diam itu, berakhir di sebatas buku harian, di surat-surat yang tak pernah tersampaikan. Miris. Begitulah memang konsekuensi mencintai dalam diam. Jika siap, nyatakan. Disitu kau belajar sebuah keberanian. Jika tak siap, lepaskan. Disitu kau belajar sebuah keikhlasan. Sejak saat itu Rani telah bersiap manakala suatu hari datang sebuah undangan bertuliskan nama kawan sebangkunya dan seorang yang ia puja.

“Ran, jatuh cinta kepada sahabat sendiri itu berat. Terlalu berisiko. Jika cinta itu mengalami kegagalan, kau akan kehilangan dua sekaligus. Seorang Kekasih dan juga seorang sahabat”, Damar sering menyinggung keberadaan bunga edelweis di bukunya.

“We are just friend, aren’t we?! “, “Aku juga tidak mau hanya gegara penyakit hati macam begini, rusak nilai persahabatan. Kisah kita tidak akan berending. Karena kalau diendingkan, bisa berakhir dengan buku nikah atau berakhir dengan kita tak akan berjumpa selamanya,” Rani emosi.

“Lho kenapa begitu? “, Damar protes,” Let it flow, honey. Jika memang akhirnya kamu jodohku, nantinya aku akan menjadi orang yang kau tunggu-tunggu di pelataran taman ini”, “Jalani saja, ikuti saja kata hatimu”,

Andai Damar tahu, Rani paling benci dengan statement terakhirnya. Dia benci dengan filosofi mengalir seperti air. Follow your heart, dan segala kalimat abu-abu lainnya. Kalimat milik manusia-manusia moderat yang biasanya suka berdiri di tengah cari jalur aman. Suka perdamaian, dan membenci sikap epik. Ketahuilah, terus-menerus mengikuti kata hati tidak akan membawamu kemanapun. Kamu perlu menarik garis tegas antara suara hati dan emosi.

Bukan, cintanya Rani tidak bertepuk sebelah tangan, dia hanya ingin menulis cerita bahagia yang tidak ada Damar di dalamnya. Semoga mereka lebih dari sekedar baik-baik saja.

Oke Ran, membijaklah. Dan suatu hari nanti, pergilah jika kamu ingin pergi. Sahabat adalah sahabat. Dia tidak akan menangis ketika kamu pergi. Justeru dia akan melepasmu dengan senyuman dan mengharapkan kembali kedatanganmu. Percayalah.

Bersambung…