0

Menikahlah juga pada badainya

Andai saja menikah bisa sesederhana jatuh cinta, melamar dan mengikat janji setia. Kadang semudah apapun prosesnya, atau sesulit apapun rintangannya, nyatanya memang tidak selalu sederhana.

Menikah tidak sesederhana jatuh cinta, sebab semua kita bisa kapan saja jatuh pada cinta siapapun atau apapun. Jika beruntung cinta dapat berbalas atau sebaliknya bertemu pada sebuah kenyataan cinta tak berbalas dengan rasa yang sama.

Andai saja setelah menikah, kebahagiaan rumah tangga diterjemahkan hanya sebatas canda dan tawa. Betapa banyak rumah tangga yang isinya dominan air mata. Lalu apakah yang mereka kejar sebenarnya?

Ada banyak bahagia yang kita dapatkan secara sederhana. Tapi kenyataannya memang ada bahagia yang rumit, dan tak perlu memaksa persepsi hanya demi membuat orang lain terkesan. Cukup terima saja kerumitan itu, terima saja bahwa rumit tidak lantas menjadikan nilainya tidak sempurna.

Menikah tidak sesederhana ucapan sakinah mawaddah wa rahmah. Lalu aman bahagia selamanya. Andai saja kalian tahu, selama apapun kalian mengenal siapa pasangan, tak akan pernah cukup cinta berbicara jika tak bersedia belajar mengenal sepanjang hidup. Selama apapun kalian mempersiapkan diri, tak akan pernah cukup bekal jika tak bersedia belajar selamanya.

Iya, memang sakinah mawaddah wa rahmah tidak sederhana. Sebab ia adalah standar dari Tuhan, bukan sebatas pandangan sederhana manusia dalam menilai kebahagiaan. Suatu hari jika rumahmu semarak tawa, syukurilah. Namun jika suatu saat membadai, tetaplah syukuri. Barangkali sakinahmu ada pada ujian, bukan ada pada nikmat yang berkepanjangan. Yang terpenting, jangan kehilangan standar Tuhan. Begitulah kira-kira..

Selamat menikah…

Sedih ya? Haha sukurin!

Gembira bukan tentang tidak pernah berair mata, sedih bukan tentang tidak pernah tertawa

Semua itu hanya definisi Tuhan bahwa kita fana

Sebab itulah tak pernah ada tawa yang abadi, tak pernah ada tawa yang memanjang berhari-hari

Seperti mentari yang bertukar cerita dengan pekat malam. Hitam putih hanya resonansi

Patahmu hari ini adalah risikomu sendiri, bertaruh pada takdir Tuhan

Berkali-kali kukatakan, tidak pernah ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan. Bandel sih !!

Ok, Kita memang bisa mengendalikan hati, tapi apakah kita bisa mengontol campur tangan setan? Kalo bisa ya silakan

Tidak perlu mengemis cinta, kita telah dicukupkan pada cinta Tuhan. Kekurangannya, ada pada kurang cintamu atas dirimu yang harusnya kau cukupkan

Tidak perlu menggenggam berlebihan, apa yang ingin pergi dari dirimu, biarkan

Sebab sejatinya kita memang fakir, tak pernah memiliki apapun selain yang Tuhan titipkan

Hidup ya seperti ini, jika tidak ditinggalkan ya meninggalkan

Apa-apa yang dipinjamkan Tuhan untukmu jagalah, dan apa-apa yang terluput dari hidupmu relakan

Katanya cinta itu mengambil kesempatan atau merelakan, lalu mana yang paling baik??

Ambillah kesempatan dengan belajar memperjuangkan dan bersedia diperjuangkan

Jikapun harus melepaskan, andai suatu ketika sempat bersamamu, cepat atau lambat akan terlepas jua dari tangan

Usah terlalu nestapa, simpan saja dalam kenangan

Sesekali boleh kau tangisi, namun secepatnya kemasi dalam ruang refleksi

Hidup ini sementara, usah berpayah memuaskan dunia pada apa yang ingin kau kehendaki

Jangan lupa, bahwa tak ada yang paling kita cari di dunia selain ridho Ilahi

Sampai disini, kau masih berat? Tak apa, memang butuh waktu mengalihkan persepsi

Dan hari ini, ambillah hikmahnya dan sampai jumpa pada versi terbaik dari dirimu

I feel u

Rois, 25 Desember, nunggu nkcthi di trans7

0

Mengapa saya berkarir di luar rumah?

Judulnya serius, haha padahal saya mah cuman pengen curhat 😁 curhatnya kawan sih..

Wanita butuh wadah yang lebih besar untuk menampung apapun. Bagi wanita yang koleris-sanguinis macam saya, atau kamu yang suka banyak bicara, penting untuk punya tampungan dalam membuang bicara-bicara yang lebih banyak sampah isinya. It’s priority to hold on ur mouth. Banyak wanita berprofesi ibu rumah tangga yang merasa insecure di luaran sana karena merasa diri tak berdaya sebab kerjaannya bulak-balik dapur kasur sumur, padahal ijazahnya strata dua. Lha emang kenapa? Sehari-hari ketidakberdayaan ini termunculkan dengan emosi yang sering meledak-ledak, senggol dikit bacok, paling nggak bisa dikomen suaminya. Apalagi kalo sore pas suami pulang kerja rumah berantakan ditanya begini “Kamu ngapain aja di rumah, berantakan terus”. Ini biasanya intro dari perang dunia ketiga wkwkwk

Di luaran sana, ada juga wanita yang merasa bersalah pada anaknya sebab sehari-hari mereka bekerja full-time. Berangkat ditangisin anaknya, pulangnya larut pas anak sudah pules. Akhirnya anaknya lebih deket sama Bibi pengasuhnya ketimbang emaknya. Ibu stress, menyalahkan diri sendiri, akhirnya sering murung, cari pelampiasan, mau berhenti kerja apa boleh dikata sebab dia punya tanggung jawab besar dalam menanggung adik-adiknya sedangkan ia tidak mungkin mengandalkan nafkah suaminya. It’s work baby!

Semua wanita punya cerita sendiri dalam hidupnya. Mereka punya keputusan masing-masing yang mungkin sulit diterima, tapi mereka bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusannya. Masa lalu, kondisi keluarga, perjalanan, cinta, nilai dan pendidikan yang diterima sejak kecil, lingkaran pertemanan dan semua fakfor-faktor internal juga eksternal akan membentuknya sampai pada keputusannya hari ini. Jadi barangkali kita perlu berhati-hati menjadi juri untuk keputusan orang lain. Semua keputusan mereka untuk hidup mereka, bukan untuk memberi kesan untuk penghakiman orang lain.

Kembali lagi, kalo saya pribadi ditanya, kenapa saya berkarir di luar rumah? Padahal saya punya toodler di rumah yang sedang-sedangnya golden age, bukankah penting untuk membersamainya setiap waktu? Iya bener sih penting banget malah. Tapi apakah kamu tahu bagaimana aturan saya di rumah? Tidak kan? Apakah kamu tahu jadwal harian saya? Tidak kan. Saya memutuskan berkarir di luar rumah, sebab saya tahu persis apa yang pantas saya putuskan untuk hidup saya. That is why saya pun punya banyak maklum atas semua keputusan wanita-wanita kuat di luar sana.

Satu hal lagi, semua keputusan itu telah ribuan kali ia tanyakan pada Tuhannya. Meminta yang terbaik untuk hidupnya. Alih-alih galau terpengaruh pada penilaian orang, lebih baik fokus saja pada apa yang kita cari untuk keridhoan Tuhan.

Semoga menjawab ya Dear.. Jazaakunnallah

With love ❤, ur friend

Kenang – Kenanga [32] -selesai-

Sebuah amplop putih berisi dokumen surat penting terselip di jari jemarinya yang kering, ia lupa kapan terakhir kali mengaplikasikan pelembab di permukaan kulitnya. Kulitnya yang dahulu langsat dan selalu lembab, kini mulai terlihat kerutan halus tersebab faktor usia dan ketidakpeduliannya pada tubuhnya belakangan ini. Semestanya kini harus mengorbit pada garis edar manusia lain, dan tentu saja itu adalah suaminya. Ia paham betul bahwa surganya hari ini ada di telapak kaki suaminya. Bukan lagi di bawah baktinya pada kedua orangtuanya.

Rani mewarisi penuh gen mendiang ibunya, bentuk fisik dan hampir sebagian besar sifat bawaan. Bahkan ketika gambar ibunya disanding dengannya bagaikan pinang dibelah dua. Bapaknya seperti melihat reinkarnasi ibunya dengan sempurna, hanya tetap saja ia melihat putri dewasanya itu masih sebagai putri kecil yang ceria dan bergantung penuh padanya saat masa kanaknya. Rani yang hanya mampu nyenyak tidur dalam pelukan Bapak, Rani yang selalu mencemaskan kehadiran Bapaknya saat pembagian rapornya di sekolah, Rani yang lebih manja jika bersama Bapaknya. Seorang bapak adalah pahlawan dan cinta pertama anak perempuannya, dan seorang anak perempuan hampir akan selalu memimpikan untuk memiliki pendamping hidup seperti bapaknya. Bagi sebagian besar wanita, bapaknya adalah jiwa paling ideal untuk dapat menyanding dirinya sebab sosok ideal itu telah diidolakan secara tak sadar di alam bawah sadarnya. Tapi terkadang sosok ideal itu bisa menjadi sangat ideal bagi mereka sehingga mereka menginginkan pasangannya seideal bapaknya yang jelas berbeda dalam segala sisi dan setiap sudut pandang.

Salah satu kesalahan besar yang kerap dapat memicu keretakan hubungan, terutama hubungan pernikahan adalah ekspektasi yang terlalu besar pada pasangan. Persepsi mereka sama dengan apa yang mereka lihat pada orang tua mereka, sebab sewajarnya mereka memang lahir dan dibesarkan dengan nilai-nilai yang ditumbuhkan dalam keluarganya, terutama orang tua. Sehingga konsep yang lebih sering terdengar muluk-muluk dibanding realita yang sebenarnya harus terjadi. Dan barangkali persepsi keidealan itu tak memiliki konsep yang setimpal dengan ekspektasi. Lebih celakanya lagi, hubungan jangka panjang pada sebagian besar orang dibangun tanpa konsep yang matang. Mereka hanya mengandalkan persepsi tanpa ilmu. Padahal persepsi tanpa konsep adalah buta, dan konsep tanpa persepsi adalah hampa. Begitulah akhirnya banyak hubungan jangka panjang yang kemudian harus kandas di tengah jalan karena faktor ketidakcocokan, demikian mereka menyebutnya.

Buru-buru dihardiknya amplop itu ke dasar tas selempang coklatnya. Dia harus hadir mendatangi sidang pertama gugatan cerainya. Pilihan hidup terkadang pahit dibanding tetap memilih pada zona yang dianggap aman oleh sebagian besar orang. Hanya sebagian kecil yang berani mengambil tindakan besar yang berisiko. Setelah berulang kali mencoba bertahan dan mengupayakan lembaran baru bersama suaminya, akhirnya ia memutuskan untuk datang ke pengadilan agama demi sebuah amplop putih berisi jadwal sidang pertama panggung perpisahan dengan suaminya.

Ia tiba di sebuah rumah konvensional bercat putih agak kusam dengan kursi di teras milik keluarga Damar yang merawatnya selama ini. Seseorang duduk di salah satu kursi kuno bersenar hijau lumut. Dari kejauhan tampak wajah cemas dan penasaran kenapa wanita itu tiba-tiba ingin datang menjenguknya. Sembari melapaskan alas kaki ia memberi isyarat akan menemui Tuan rumah, namun ternyata Paman Bibi Damar sedang pergi. Dari sekilas carita Damar, Nang Uda-sebutan untuk pamannya- membuka restoran sejak lama, bahkan sebelum mereka kenal dan bertemu terakhir kali di Wonosari Malang ketika itu. Pantas saja saat itu Damar langsung menghilang dari peredarannya di Bogor.

“Sudah lebih sehat?”

“Sesehat apapun aku tetap sakit Ran”,

Ruas jalan yang memotong di depan rumah itu lengang, sesekali kendaraan beroda dua lewat. Beberapa kawanan anak usia sekolah dasar saling berkejaran dan hilir mudik bermain dengan canda tawa lepas tanpa takut kendaraan tiba-tiba muncul di kelokan jalan.

“Dek, hati-hati ada mobil lewat”, Damar menegur kawanan anak laki-laki tujuh orang dengan dua anak yang sangat vokal unjuk suara sopran dan mezzo sopran. Tampak dari lokasi mereka bergerombol di atas sepeda radius lima puluhan meter mobil silver berjalan lambat menghindari dan menunggu kawanan bocah itu berlalu.

“Aku ingat dulu hampir enam bulan bersepeda setiap hari. Manis ya kalo ingat masa lalu”, Rani mengenang sahabat-sahabat lamanya, Rakim, Adi, Iwan, Nisa dan Sahrul. Sekilas rindu membuat desiran kecil di hatinya.

“Kasian sekali cuma enam bulan. Masa kecilku sebelum merantau ke Jawa, aku pesepeda handal, 20 km ke Danau Maninjau, setiap minggu”, Damar mengenang masa kecilnya di tanah kelahirannya yang damai. Cerita tentang Danau Maninjau teruarai dari mulutnya tanpa diminta.

Danau Maninjau memiliki pemandangan yang sangat indah. Airnya jernih bak cermin, dikelilingi hamparan perbukitan hijau. Hamparan air terlihat berwarna biru dari kejauhan. Berombak kecil tenang dan membuat hati terasa nyaman. Mengunjunginya di ujung hari akhir pekan membuat semua beban pikiran seakan menghilang. Benar-benar tempat yang paling cocok untuk menikmati kesendirian atau menikmati alam bersama orang-orang tersayang. Pepohonan hijau berderet dan berjajar mengelilingi hamparan birunya. Danau, gunung, pohon, dan nyanyian burung-burung yang membawa melodi-melodi indah. Kesegaran airnya tidak hanya sejuk terasa di mata, tapi menenangkan hati. Tetap terasa kesejukannya meski terik matahari menyengat di ubun-ubun kepala. Secuil keindahan surga yang sengaja Tuhan tampakkan di dunia.

Cerita-cerita tentang perjalanan panjang masa lalu seperti ia tuangkan secawan demi secawan.

“Tahun berapa kamu mengunjungi Kelud?”

“Sekitar sepuluh tahun lalu,”

“Aku juga disana sepuluh tahun lalu,” keterkejutan kecil menyelimuti kedua kawan lama yang dipertemukan oleh takdir, hampir terlambat tapi tidak.

Saat itu Damar bertemu dengan Rakim, dan mereka berteman lebih dari sekadar teman. Bahkan jika dan andaikata Tuhan merestui cinta antara dia dengan Rakim, maka apakah manusia akan merestui cinta mereka?. Dia tidak tahu rasa macam apa yang tumbuh di hatinya sejak kecil, saat ia menyukai Roni kawan sekelasnya semasa sekolah dasar. Dia pikir rasa itu akan hilang ketika bulu-bulu halus di atas bibirnya mulai tumbuh, saat suatu malam ia pernah bermimpi panjang hingga membuat kasurnya basah. Mimpinya masih membawa Roni mengunjunginya kembali. Tapi karena Roni melanjutkan sekolah di luar kota mereka, ia optimis akan bertemu cinta baru yang semestinya. Nyatanya, ia lebih nyaman bersama sahabat-sahabat prianya dibandingkan dengan para gadis cantik yang seringkali terang-terangan mendekatinya. Alih-alih bangga dan memanfaatkan kesempatan baik yang diidamkan para playboy, dia justru risih dengan sikap para gadis yang kasmaran dan menggodanya. Paras Damar yang rupawan memang menjadi gula bagi semut-semut betina di sekitarnya.

“Kamu tiba-tiba datang. Ada yang bisa kubantu?”, Damar mengutarakan rasa penasaran.

“Seperti kamu dulu, yang tiba-tiba pergi. Tentu ada hal besar yang terjadi”, Rani berhasil menghentakkan jawaban tepat di lubang besar hitam di hati Damar.

“Aku minta maaf, Ran”, pandangan Damar jatuh di kuku-kaku jarinya yang berwarna pucat kecoklatan di tepinya.

“Tak perlu minta maaf sekali lagi, andaikata waktu itu kamu tidak pergi, mungkin aku yang akan meninggalkanmu”, sesungging senyum samar menghiasi bibir kecoklatan berbalut lipstik warna nude tipis.

“Memang tidak akan pernah ada orang yang akan menerimaku dengan tulus, bahkan keluargaku saja masih enggan menerima keadaanku dengan ikhlas”, ia sibuk menggigiti kutikula di ujung-ujung kukunya.

“Tapi jika ada orang yang bersedia menerimamu setelah melihat semua keadaanmu, apakah kamu mau menerimanya?”,

“Maksudmu setelah aku hiv-aids seperti ini?”, bicaranya terjeda beberapa jenak. “Mungkin bukan menerima keadaanku, tapi kasihan melihat kondisiku”, “Memang aku pantas dikasihani”

“Damar, aku ingin berpisah dari suamiku”, pandangan Rani jatuh di lantai marmer putih, semut-semut hitam berbaris panjang menuju lubang kecil di celah lantai.

“Maksudmu?”, Damar sedikit terkejut.

“Iya, aku ingin cerai”.

Damar menghela nafas panjang, memberi validasi pada pikirannya bahwa dia bukan salah satu penyebab bagi keinginan Rani berpisah dari suaminya.

“Ceritanya panjang dan lumayan rumit. Setiap kali aku mengulur benang kusutnya selalu kembali pada simpul-simpul mati yang tak ada ujungnya. Setiap kembali pada kerumitan, mau tak mau aku harus bersiap pada simpul rumit selanjutnya”, kalimatnya menggantung.

“Maksudmu apa Ran? Jika memang kamu mau cerita ceritalah. Tapi dari awal aku tegaskan mungkin aku tidak bisa membantu banyak kecuali hanya sekedar memberi telinga untuk mendengarkan”,

“Asal kamu tahu, wanita bisa memberikan hatinya kepada seseorang yang bersedia memberikan telinga untuk mendengarkannya”,

“Ah Rani, jangan menggodaku”, Damar tergelak kecil. “Kamu masih suka menulis puisi?”,

“Kamu tidak berusaha mengalihkan pembicaraan bukan?”, Rani tergelak kecil. “Hmm, aku hanya menulis ketika tidak ada satupun telinga yang sudi mendengarku”,

“Jadi maksudmu kamu ingin berpisah hanya karena suamimu tidak memberimu telinga, begitu?”,

“Ah, kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan!”.

Jika diibaratkan sebuah buku, sepertiga pikiran wanita memang rumit, sisanya adalah lembaran-lembaran kosong yang jauh lebih tidak dapat dimengerti, namun mereka justru lebih banyak ingin dimengerti. Maka alih-alih berusaha menulis di dalamnya, cukup menunggu sampai mereka selesai menuliskan apa yang ingin mereka tuliskan.

“Ceritalah Ran, dari dulu aku tetap siap jadi tempat sampahmu. Dulu mungkin aku ceroboh karena sering melibatkan hati, tapi hari ini hatiku tidak akan ikut campur pada masalahmu”,

“Menurutmu, sampai pada titik apa aku harus mempertahankan pernikahan?”

“Ya tentu saja sampai titik terkuatmu bertahan. Kata orang bijak, bertahanlah pada bagaimanapun kondisi pernikahan kecuali pada kondisi kehadiran orang ketiga. ….hmm tapi…”,

“Tapi apa?”, Rani memburunya.

“Tapi aku kurang setuju. Sebab sebaik apapun orang ketiga yang hadir dalam pernikahan, dia tetaplah orang ketiga, yang sejatinya adalah pelarian, manusia tetap akan pulang ke rumahnya, tempat yang bukan pelariannya”,

“Logika siapa itu?”,

“Logikaku sendiri”,

“Logika orang yang bahkan belum pernah menikah”, Rani tertawa, tak terima dengan kesimpulan pragmatis itu.

“Laki-laki itu mudah meninggalkan, tapi ia mudah kembali. Karena laki-laki akan selalu mencari rumah, maka wanita paling beruntung adalah wanita yang bisa menjadi rumah ternyaman bagi lelakinya”, “Di luar konteks aku membela kaum laki-laki, puluhan tahun aku memahami dan dipahami oleh laki-laki, aku tak mengerti dunia perempuan, karena aku memang tak tertarik dengan dunia mereka. Sejak mengenalmu dulu aku hampir berusaha memahami, tapi nyatanya aku selalu kembali ke rumahku, tempat yang menurutku nyaman untuk diriku sendiri, dengan segala pandangan tak suka dan stereotip negatif orang. Maka ini juga menjawab kenapa dulu aku tak meneruskan ketertarikanku padamu Ran, aku takut suatu saat akan menyakitimu. Maka biarlah aku yang menerima karmaku sendiri”, matanya menerawang jauh mengurai kenangan-kenangan yang terserak di gundukan peristiwa-peristiwa masa lalu.

Sesak dan gamang hati Rani saat menerima surat panggilan sidang perceraiannya berubah dengan gerimis yang mengguyur hati hingga tumpah di pelupuk matanya.

“Sudah sejauh mana kamu berniat mengakhiri hubungan kalian? Apa dia setuju dengan perpisahan?”

“Dari yang aku lihat, justru dia akan bahagia dengan perpisahan ini”, Rani menjawab sekenanya, dengan guratan emosi sewajarnya.

“Hubungan itu tentang situasi Ran. Mungkin kita terlalu sibuk melihat, sehingga kita lupa menyentuh. Atau kita terlalu sibuk menyentuh, sehingga lupa melihat”.

“Apakah kamu mencintainya?”, Damar mencoba mencari jawab di ujung mata Rani, berusaha menemukan kejujuran untuk mengantisipasi kebohongan jawaban atas pertanyaan ambigu tersebut.

“Aku tidak tahu hari ini aku mencintainya atau tidak. Yang aku tahu selama ini tetap bertahan di sisinya, karena Tuhan. Seperti pertama kali aku memutuskan memilihnya, aku berjanji bahwa segala dasar dan alasan dalam memilihnya adalah karena Tuhan, dan aku harus pegang janji itu apapun yang terjadi. Persetan dengan cinta!”,

“Lantas?” “Kamu bukan tipe orang yang mudah ingkar janji lho“,

“Katamu hubungan itu tentang situasi, kali ini situasinya sudah berbeda”, Rani membela pendiriannya.

“Dia ingkar pada janjinya pada Tuhan, janji pernikahan kami. Jika aku pernah sakit karenanya, mungkin aku sudah memaafkan. Entahlah jika situasi berbalik, aku yang menyakitinya apakah dia akan memaafkanku? Aku rasa tidak. Maka demi janjiku pada Tuhan, datang dan pergiku pun karena Tuhan”, keyakinannya terpancar jelas di matanya, kali ini bibirnya tidak membohongi matanya.

“Kamu wanita kuat Ran, seharusnya ia bersyukur mendapatkanmu”,

“Tak perlu menyanjungku, aku hanya butuh telinga hari ini”,

“Laki-laki tidak suka menyanjung, jika ia menyanjung kemungkinannya ada dua, dia berbohong, atau dia sedang menutupi sesuatu. Justru aku heran kenapa hari ini kamu selemah ini?”,

“Sabar itu ada batasnya bukan?!”,

“Semakin batas itu ada, semakin besar peluang kita melanggar batas. Sabar pun bisa melampaui batasnya”,

Bullshit dengan kalimat omong kosong itu!”,

“Ya Allah Ran, bersyukur kamu diberi masalah, ini bukti Tuhan ingin menunjukkan bahwa Dia memperhatikanmu. Aku bersyukur hari ini masih diulur umurku oleh Tuhan. Puluhan tahun aku hidup seperti tersesat. Andaikata saat itu aku mati, entah penyesalan macam apa yang harus aku tangisi di alam kubur. Aku baru betul-betul menyadari bahwa apapun yang berlaku di sisa umurku bisa jadi Tuhan membayar semua karmaku untuk menghapus lumpur-lumpur hidupku. Andaikata taubatku hari ini belum cukup untuk menghapusnya, maka biarlah nanti aku masuk neraka bersama sajadahku, akan kulanjutkan taubatku di neraka”, ada yang menggenang di pelupuk mata lelaki kurus itu, namun perlahan-lahan menyusut seakan dihisap oleh pusaran hatinya yang besar.

“Andai dulu takdir kita bersama”, Rani tersenyum, bercanda.

“Maka mungkin keadaanya akan jauh lebih buruk dari hari ini. Biarkan aku yang menjadi pelajaran hidupmu hari ini. Aku sudah cukup bahagia kamu sehat dan menjalani kehidupanmu hari ini, yang tentu tidak menanggung aib hidup yang besar sepertiku. Tuhan masih melihatku, masih memberiku kesempatan untuk kembali”,

Sendu pertemuan mereka, sesendu senja beberapa tahun lalu saat mereka berpisah, hingga akhirnya kembali bertemu di titik waktu yang tak terduga.

“Aku sudah mengajukan gugatan ke pengadilan”,

Damar tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

“Bertahun-tahun aku meramal baik pertemuan kita, hingga akhirnya aku kubur semua harapan dan berkali-kali membuka pintu hati, tapi nyatanya semua yang hadir dalam hidupku memilih untuk selalu pergi. Tak pernah ada yang betul-betul rela tinggal disana, kecuali Tuhan. Berkali-kali aku bertemu pada cinta yang kuanggap adalah pelabuhan, namun nyatanya kegagalan demi kegagalan memintaku untuk tak pernah berharap pada siapapun kecuali kepada Tuhan. Dan semua itu baru aku sadari setelah aku bertemu dengan orang yang dengan sukarela menukarkan telinganya untuk hati seorang wanita. Aku mau belajar hidup darimu, maukah jadi guruku?”, kalimat Rani sebenarnya masih menggantung.

“Apa kamu tidak mau menikah?”, kalimat Rani berujung pada pertanyaan sulit.

“Semua manusia ingin hidupnya normal, baik-baik saja. Menjalani kehidupan seperti halnya manusia normal lainnya. Melakukan tugasnya sebagai manusia biasa pada umumnya, di lingkungan kenormalannya. Tapi nyatanya aku ada di luar lingkaran itu. Tak pernah ada manusia yang toleran secara sukarela pada pada hal yang tidak biasa, pada kondisi yang berbeda dengan mereka”,

“Jika, aku menawarkan diriku secara sukarela menjadi istrimu, bagaimana?”, kalimat itu teruai di antara ungkapan hati yang tulus dan canda parabola seorang kawan lama yang terjebak pada cinta lama bersemi kembali. Ia tidak peduli pada bagaimanapun situasi selanjutnya, pada bagaimanapun responnya. Dia hanya sekadar meluahkan apa yang berjejalan di hatinya, tanpa dipertimbangkan lagi oleh akalnya.

“Ran.. “, jeda selanjutnya adalah detik demi detik yang terasa panjang untuk dinanti.

“Aku menyayangimu, Ran. Sebagai sahabatku, sebagai orang yang menginginkanku dengan rela, setelah tahu semua luka dan cacat dalam hidupku. Aku tak peduli itu kalimat basa-basi atau sesungguhnya. Jika mau, aku dari dulu bisa saja memilikimu, menjadikanmu istriku yang tentu saja sudah kutimbang dengan sangat matang hingga akhirnya aku pergi dari kehidupanmu. Semua tak akan sama jika akhirnya kita memilih hidup bersama. Maka karena aku menyayangimu, jalanilah kehidupanmu sendiri dengan sebaik-baiknya”, sendu di hati Rani menjelma gerimis, “Aku belum selesai dengan diriku sendiri. Aku tidak mau ada orang lain yang terkorbankan hidupnya hanya karena harus membantuku menyelesaikan masalah hidupku. Biarlah cinta yang mungkin pernah ada di antara kita menjadi bukti bahwa cinta itu memang tidak selalu harus saling memiliki”,

“Aku mau pulang ke Bukittinggi, Ran. Kapan-kapan jika kamu butuh refreshing, bersama suamimu, kita bisa ngopi bersama di warung Bibiku dekat Maninjau”

“Tidak pernah ada perpisahan yang baik-baik saja, meskipun setelahnya bisa jadi semua akan menjadi lebih baik. Jika memang kamu harus pergi dari suamimu, maka ingatlah bahwa manusia itu hamba Tuhan. Dia senantiasa akan menguji kita dimanapaun dan dengan siapapun. Seusai kau pergi dari ujian ini, selalu akan ada ujian di tempat lain. Tetap bersama suamimu atau berpisah dari suamimu kamu selalu akan bertemu pada ujian Tuhan. Sebab hanya lewat ujian Dia tahu hamba mana yang merumahkan hatinya untuk-Nya”, Sebuah nasehat yang dicatat dengan tinta emas di hati wanita yang sebenarnya diingankannya dan menginginkannya.

Langit biru bersih, tanpa awan barang sejumput pun. Kosong. Angin bertiup lembut, udara Kota Malang yang dingin terasa hangat. Terminal semakin siang semakin ramai, pedagang asongan yang selalu saja kembali meski kerap digusur petugas program penertiban umum. Begitulah sebagian besar manusia, keras kepala.

Ia tiba di sebuah gapura besar universitas ternama di Kota Malang, sebuah kampus yang mendapat peringkat terbaik pertama tingkat nasional dari Kementerian Pendidikan Tinggi Indonesia. Kampus tempat suaminya mengabdi, kampus yang dicintai suaminya, kampus dimana suaminya bertemu wanita lain dalam kehidupan rumahtangganya. Ujian memang seringkali datang pada hal-hal yang dicintai dan dipertahankan manusia.

Langkah kakinya berhenti di pelataran masjid besar berwarna putih, kontras dengan warna langit. Beberapa mahasiswa berkerumun di beberapa sudut, membahas tugas kuliah, membicarakan dosen yang mahal nilai, dan sekilas terdengar berkelakar tentang pertemuan pacar mereka dan ibu kos yang galak luar biasa. Hidup mereka sesederhana tugas kuliah dan hubungan percintaan semu yang putus-sambung. Masalah mereka adalah terlambatnya kiriman dana dari orang tua, pesan gawai yang tak kunjung dibalas oleh dosennya, dan perihal jemuran kering di loteng kamar kos yang kembali basah setelah digeser tempatnya oleh tetangga sebelah.

Bangunan masjid lima lantai ini sejuk, ia naik ke lantai tiga, karena lantai satu dan dua adalah ruangan aktifitas mahasiswa dengan berbagai kegiatan. Kabarnya bangunan masjid itu adalah masjid kampus terbesar di Asia Tenggara yang ditopang dengan 81 tiang kokoh. Bahkan, Husin sempat bercerita pada Rani bahwa bangunan masjid itu tetap kokoh meski pernah beberapa kali diguncang gempa. Di dalam masjid terhampar karpet merah empuk dan halus.

Suara adzan terdengar dari pengeras suara masjid, menggema di setiap sudut masjid, gedung fakultas, dan menggaung di dinding jembatan yang membelah danau tenang di area utama lingkungan kampus. Masjid putih itu berdiri megah di atas hulu Sungai Brantas. Gemericik aliran airnya terdengar dari dalam masjid. Suasana yang nyaman seperti merasakan percikan pemandangan surgawi dimana bangunan-bangunannya mengalir di atas mata air-mata air yang mengalir. Sungai Brantas memang berada tepat di belakang masjid, sedangkan di bagian depan berhadapan langsung dengan jalan raya. Posisi yang berdekatan dengan jalan raya ini membuat Rani refleks singgah mencari damai pada hatinya yang gusar.

Semangat modernitas kebudayaan Jawa, Arab, dan modern sangat menonjol pada penampilan arsitektur masjid itu. Terlihat cungku pada ujung setiap kubah adalah simbol dari kebudayaan Jawa. Ornamen dan pilar dengan gaya modern. Pilar yang gagah perkasa dengan hiasan kaligrafi indah di setiap ujungnya, memanjang mengitari dinding atas. Kubah dengan ornamen buah dan daun menghadirkan kesejukan mata yang memandang. Di bagian depan, mimbar jati berukiran khas Jepara dengan gapura yang melengkung indah.

Pada lengkung gapura bertuliskan ayat Alqur’an Al-Mujaadillah ayat 11: yarfa’i allaahu alladziina aamanuu minkum waalladziina uutuu al’ilma darajaatin waallaahu bimaa ta’maluuna khabiirun. Bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sedangkan di dinding belakang gapura tertulis Surah at-Taubah ayat 18: innamaa ya’muru masaajida allaahi man aamana biallaahi waalyawmi al-aakhiri wa-aqaama alshshalaata waaataa alzzakaata walam yakhsya illaa allaaha fa’asaa ulaa-ika an yakuunuu mina almuhtadiina. Bahwa hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang- orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Jendela kecil masjid didesain agar cahaya di dalam masjid mencukupi dengan material kaca. Sedangkan di bawah kubah yang berdiameter kurang lebih 25 meter terdapat banyak jendela kecil yang melingkari kubah. Masjid yang cukup luas sehingga andaikata ia dan Husin hadir bersama disana di waktu bersamaan kecil kemungkinan mereka bertemu, sebab ruangan yang bisa menampung kurang lebih 5.500 jamaah ini memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan. Suara iqomah dari menara masjid membuat masjid ini semakin ramai oleh para mahasiswa yang sedang beristirahat dan pengunjung yang sebatas singgah sholat. Rani buru-buru mengambil mukena di deretan lemari yang tersusun di ujung barisan.

Kegundahannya beberapa hari belakangan sedikit terurai, setelah ia bertemu Damar dan menyelesaikan sisa tangisnya hampir tiga jam di masjid. Sesampainya di rumah, ia terburu-buru menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih tersisa, mandi kemudian mengatur nafas di depan cermin. Ia berdoa agar semua hal yang telah ia pertimbangkan menjadi keputusan terbaik untuk kehidupannya, dan kehidupan suaminya. Menyemogakan hal yang paling positif dan segera membuka tas untuk mengeksekusi dokumen yang akan menentukan kelanjutan hidup mereka. Namun betapa terkejutnya ia saat seluruh isi tas ia keluarkan tak bertemu amplop putih yang ia simpan. Ia panik, mengingat kejadian yang ia lewatkan dalam sehari. Ia yakin sudah memasukkan kembali amplop itu di tas, namun nihil ia bongkar berulang kali seluruh isi tasnya.

“Apa tertinggal di masjid?”, monolog Rani yang sebenarnya diamini oleh mesin waktu. Ia merasa sama sekali tak mengeluarkan amplop itu dari tas sejak melepas alas kaki sampai berwudhu dan masuk masjid siang tadi. Ia tak mengingat apapun tentang amplop putih itu, ia hanya ingat sibuk mengamati arsitektur dan ornamen masjid, lalu tenggelam dalam doa sampai adzan berkumandang kembali.

Sejatinya ia telah mengurungkan niatnya hadir dalam sidang perceraian. Semua nasehat Damar memberinya pertimbangan untuk membatalkan rencana perpisahannya. Ia masih punya sahabat, yang peduli dan tidak selalu mengiyakan semua rencananya, tapi mengajaknya berpikir dan mencari hikmah di sebalik peristiwa yang terjadi. Ia akan memilih untuk tetap bertahan, dengan segala konsekuensi yang ada, dengan segala sakit yang akan ia nikmati sepanjang hidupnya. Beberapa rasa sakit memang dapat sembuh oleh waktu, namun banyak pula rasa sakit yang tidak pernah sembuh dan memilih bersahabat dengan pemilik luka. Membuka tangan dan menerima baik-buruk takdir yang ditulis Tuhan, rela tak rela, ikhlas tak ikhlas. Sebab manusia memang selalu akan berjalan pada garis edar Tuhan, bukan berjalan pada garis edarnya sendiri. Takdir berlaku sesuai ekspektasi Tuhan, bukan ekspektasi mereka sendiri. Pada apapun yang terjadi di kemudian hari, biar saja Tuhan yang menyempurnakan jalan ceritanya. Sekali lagi.

Ia akan menerima Husin kembali, jika ia masih menganggapnya sebagai rumahnya. Ia akan menjadi tempat terakhir bagaimanapun rumitnya perjalanan. Sebab manusia memang makhluk yang kelak harus pulang juga, ke haribaan Tuhannya. Ia hanya sedang dititipi Tuhan se-nyawa yang masih juga belum menemukan rumahnya. Ia akan membakar surat gugatan dan panggilan sidangnya, menjadikannya abu dan menaburkannya di tanah sebagai pelajaran yang harus ia ingat dan cerita perjalanan yang menjadikannya kuat.

Tak perlu berupaya melupakan kenangan pahit. Sebab otak manusia bekerja sebaliknya, organ kanan menghubungkan koordinasi otak kiri, organ kiri menghubungkan koordinasi otak kanan. Semakin kita berupaya keras untuk melupakan, maka justru akan semakin jelas dalam ingatan. So, take it easy, just let it flow.

*****

Husin membenamkan semua masalahnya di atas karpet merah wangi masjid, terpekur pada semua keputusan yang ia sadari kekuatannya berasal dari Tuhan. Ia telah memutuskan semua hal yang selama ini memberatkan langkahnya. Setelah tiga penelitian bersamaan yang sudah ia selesaikan bersama timnya, juga posisinya sebagai salah satu pejabat struktural di fakuktas, termasuk segala yang pernah terjadi antara dia dan Dinda yang juga telah selesai dengan tugas akhirnya. Surat tugas baru dari sebuah kampus kecil yang belum lama berdiri ia simpan baik-baik di tasnya. Surat pengunduran dirinya dari kampus yang menjadi darah kerjanya, dan menjadi daging pengabdiannya ada di meja kerjanya sejak tiga hari lalu. Ia masih menunggu waktu yang tepat untuk meninggalkan ini semua, beberapa kali pertimbangan yang kemudian membuat ia yakin melangkah.

“Din, tugas akhirmu sudah selesai. Kejarlah mimpimu, kejarlah cita dan cintamu. Semoga Tuhan memberikan segala yang terbaik yang kamu butuhkan. Aku akan mendoakan segala hal terbaik, dan doakanlah aku semoga lebih baik dengan segala keputusan yang akan kuambil setelah ini”, “Semoga Tuhan mengampuni kita, dan menerima kita kembali sebagai hamba yang ingin kembali”, semalam setelah Dinda mendaftarkan diri pada petugas acara yudisium, mereka bertemu di ruangan Husin.

“Maksud Bapak?”, Dinda mencoba mencerna kalimat yang sebenarnya mudah dicerna.

“Aku sudah memutuskan semua dengan pertimbangan panjang. Aku akan kembali pada istriku. Mari kita akhiri hubungan kita sampai disini. Semoga setelah ini, kita menjadi manusia yang jauh lebih baik. Aku akan pindah dari pekerjaanku disini, dan mencari life-circle yang baru”, tegas seolah tanpa dosa. Di waktu yang sama, beban berat yang menghimpit dadanya seakan dilepaskan.

“Hah..kamu sedang bercanda atau serius?”, dalam situasi ini ia hilang logika, bahasanya pun berubah.

“Aku serius. Aku akan mencoba memperbaiki yang telah rusak dalam hidupku”,

“Egois sekali! Setelah semua yang anda lakukan pada saya, setelah semua yang pernah kita lakukan, setelah anda mengambil semuanya dari saya, anda ingin pamit?!”, merah matanya, mendidih hatinya, semendidih istri Husin saat ia hadir dalam kehidupan Husin dan Rani.

“Din.., dengarkan aku dulu”, Husin mencoba mengambil tangan Dinda namun dengan gerakan cepat berhasil ditepis oleh perempuan di hadapannya.

“Baik. Semoga semua doamu didengar Tuhan. Kembalilah pada Tuhan. Semoga Tuhan masih sudi menerimamu”,

“Maafkan aku Dinda”, Husin menunduk, betul-betul menyesal.

“Aku bisa memaafkan, tapi selamanya aku tidak akan pernah bisa melupakan. Terimakasih sudah menikmatiku lalu membuangku. Selamat tinggal!”, gerakan kakinya cepat melintasi lorong fakultas, berbelok menuruni tangga, mengenyahkan semua tatapan teman-teman yang mencoba menyapanya, tergesa-gesa menyusuri jembatan putih.

Ia hampir hilang akal, emosi menggelapkan seluruh pikiran jernihnya, membungkam kesadarannya, menghilangkan ketenangannya dan menutup habis jalan pembelaan dan pembenaran. Bahkan ia belum sempat sama sekali mengatakan yang sesunggunya bahwa ia tengah mengandung benih Husin yang selama ini Husin tak pernah dapatkan hadir di rahim istrinya. Ia berharap banyak pada perpisahan Husin dan istrinya, dan jikapun mereka tidak berpisah ia akan rela menjadi yang kedua di antara mereka, dengan atau tanpa kerelaan istrinya. Ia terlanjur menyerahkan semua pada Husin, ia terlanjur memasrahkan kekanakannya pada sikap dewasa Husin dalam segala masalah, ia terlanjur memberikan semua waktu dan harapannya pada lelaki yang ia anggap akan menjadi pelindungnya.

Dinda tergugu di sebuah bangku panjang dekat apotek. Jalanan sedikit lengang, sesekali ramai lancar, agak bising oleh suara mesin dari sebuah bengkel disamping tempat dimana ia terpaku, gusar dan betul-betul buntu di semua arah. Pilihannya adalah antara melenyapkan benih yang dikandungnya atau menyerahkan dirinya pada nasib yang akan meminta tanggung jawabnya, sebab tanggung jawab yang seharusnya ia terima tak berhasil ia dapatkan.

Nasib buruk hari ini telah menimpanya. Ia menyesal dengan penolakannya pada Sandi dulu yang berniat melamarnya saat mereka menginjak semester empat, dengan alasan ia tak siap dengan segala ketidakmampuan kawan sekelasnya itu dalam finansial. Ia juga sempat menolak lamaran putra kawan dekat ibunya sebab tak mau seperti Siti Nurbaya yang berantakan rumahtangganya karena perjodohan, dan yang terakhir ia putuskan pacarnya yang menginginkan keperawanannya padahal sesudah itu dengan sukarela ia berikan kepada Husin. Dengan semua ekspektasi baik tentang Husin, dengan segala perhatiannya, segala pengertiannya, segala bimbingannya, segala pemaklumannya, segala perannya sebagai dosen sekaligus ayah dan kekasih baginya, dan segala permainan cintanya yang selalu berhasil membangkitkan hasrat, membakar gairahnya dan menyisakan candu yang memabukkan. Ia menginginkan Husin, jiwa-raganya, darah-dagingnya, hasrat-tubuhnya, hati dan pikirannya, dan semua yang membuatnya mabuk dan rela mempersembahkan rahimnya menjadi ladang Husin bercocok tanam hingga tumbuhlah janin kecil dalam rahimnya. Barangkali Husin adalah seseorang yang memang dikirim Tuhan untuk menikahi jiwa raganya, jodoh yang tepat untuknya sehingga buah cinta tumbuh bersemai di dalam tubuhnya. Namun hari ini, orang yang sangat diinginkannya tak lagi menginginkannya. Ia hancur, berkeping.

Dinda tak bisa menahan Husin untuk tetap berada di sisinya, pun tak bisa juga menyingkirkan Rani dalam hubungan mereka. Karena ia, hanyalah orang ketiga. Husin bukan jodohnya, ternyata Husin bukanlah orang yang tepat untuknya. Dinda kalut, ia tak tahu harus berbuat apa. Di ujung jalan melaju kencang bus patas putih berkecepatan tinggi. Bus melaju kencang di tengah jalan lengang, tak butuh waktu lama sejurus kemudian tubuhnya beradu pada kepala bus.

Brukkkk !!!! Supir bus, kondektur, penumpang, montir bengkel, petugas apoteker, pembeli obat, pedagang asongan, pejalan kaki, pengemudi mobil, pengemudi motor, semua terkejut. Seonggok tubuh bersimbah darah tergeletak 50 meter dari bus. Tubuhnya terpental dan jatuh mengenai aspal jalan dengan keras. Detik seketika berhenti.

Setalah melatakkan beban pikirannya di sujud panjang, menumpahkan air mata sampai ke dasar-dasarnya, mengutuki ketaksadarannya di masa lalu, meminta tolong pada Tuhan agar menyelamatkan dia dari lumpur hidup dosa yang menyedot habis seluruh kebaikannya. Yang tersisa hanyalah penyesalan sedalam yang dapat ia tebus andai saja dapat ia tebus di dunia. Perjumpaannya pada Rakim beberapa hari lalu membangunkan kesadaran pada kegagalannya, pada ikhtiar yang masih harus ia upayakan. Bahwa salah satu tugas utama laki-laki di dunia adalah memimpin keluarganya.

“Kamu yakin akan meninggalkan Rani? Aku mengenalnya lama, lebih lama dari kamu. Sejauh yang aku tahu, dia adalah wanita yang tumbuh dari banyak derita. Tiga kali dia gagal menikah, pertama ia ditinggalkan tanpa penjelasan, yang kedua calon suaminya meninggal, dan hampir saja aku maju, tapi aku mengurungkan niatku karena menilai kamu lebih mapan dan lebih matang dariku. Dan hari ini kamu adalah lelaki yang ditakdirkan Tuhan berada di sampingnya. Kematangannya seperti kerang yang memunculkan mutiara dari pasir-pasir pengalaman hidupnya”, “Mungkin kamu belum melihat kilaunya, tapi ingatlah, mutiara itu hanya dapat ditemukan setelah menyelam cukup panjang dan dalam”, Rakim sengaja singgah mengunjungi Husin setalah sekian tahun tak berjumpa, dia sedang bertugas di Malang selama beberapa hari.

“Keindahan yang kamu temukan pada wanita lain kelak akan kamu temukan pada istrimu. Sama seperti halnya keburukan yang kamu temukan pada istrimu kelak juga akan kamu temukan pada wanita yang kamu anggap lebih baik dari istrimu itu. Sebab untuk menemukan sesuatu terkadang memang butuh waktu”,

“Tidak pernah ada di dunia ini yang betul-betul tepat dalam menemukan jodohnya. Sebab jodoh itu ketetapan, bukan ketepatan”, siapa sangka kalimat pamungkas Rakim sebelum akhirnya ia pamit terbang ke Pulau Sulawesi mampu mendobrak hati bebal Husin dan membangunkannya dari lalai yang melenakan.

Husin duduk berselonjor di pelataran masjid, dan melihat kertas putih tebal terserak dua meter di samping kanannya. Ia pikir sampah, ia berniat membuangnya ke tempat sampah namun ternyata kertas putih yang ternyata amplop itu terdapat logo stempel sehingga ia penasaran membukanya. Barangkali milik seseorang yang tidak sengaja terjatuh. Sebuah ampop berisi surat resmi dari Pengadilan Agama. Dan betapa terkejutnya Husin mengetahui baris kalimat selanjutnya.

Deg!.

“Jangan biarkan dia pergi. Wanita akan berpikir ribuan kali untuk pergi, namun sekalinya memutuskan pergi ia tak akan pernah kembali”, kalimat Rakim terngiang-ngiang di telinganya.

Sementara tak jauh dari tempat ia terkejut, koleganya di fakultas berlari kecil ke arahnya, tergopoh-gopoh menghampirinya.

“Pak Husin, ada kecelakaan di depan, korbannya mahasiswi anggota tim riset Bapak. Yang kecil cantik itu, saya lupa namanya”, terlihat ramai beberapa mahasiswa bergerombol menuju lokasi kecelakaan.

Husin seketika berjalan ke arah kerumunan mahasiswa yang berjalan mendekati lokasi kejadian. Wajah Rani dan Dinda bergantian memenuhi kepalanya. Sedangkan hatinya memohon pertolongan Tuhan, merapal kalimat permohonan ampunan, dan berharap pada hal baik yang masih Tuhan sisakan. Untuknya dan untuk mereka.

.Selesai.

Ufuk barat Bogor, 2 Juli 2020, 22:07 WIB. Bersama Tu[h]anku.

Kenang-Kenanga [31]

“Apakah kita, cukup besar tuk mengampuni
Tuk mengasihi
Tanpa memperhitungkan masa yang lalu
Walau kering
Bisakah kita tetap membasuh?

Bisakah kita tetap memberi
Walau tak suci?
Bisakah terus mengobati
Walau membiru?

-Hindia Rara-

Cericit burung gereja di ranting ketapang kencana membuang kotoran tanpa berdosa di pucuk bunga putri cerah magenta. Bunga tak protes, sebab ia percaya sore nanti akan turun hujan dari langit lalu membasuhnya. Lalu ia kembali bersinar kontras di antara rumput liar di sela-selanya, bersaing fotosintesis memperebutkan sinar matahari dan hara air dari dalam tanah. Hidup berputar mengikuti siklusnya, seperti biasa.

“Kamu selesaikan saja dulu penelitianmu, kita bisa komunikasi via email”,

“Istri Bapak bagaimana? Masih marah?”, matanya yang coklat bulat kontras dengan wajahnya yang tirus putih bersih dibingkai hijab masa kini berwarna peach. Kulot warna senada nampak anggun dikenakan dipadu dengan sneaker warna putih menyilang elegan.

“Rani bukan urusanmu”, Husin sudah pulih namun belum mulai beraktivitas di kampus.

“Tapi Pak, saya kemarin..”, tiba-tiba suara pintu pagar dibuka, wanita yang sedang mereka bicarakan seolah memilik indera ke-enam untuk segera pulang. Wajah kusut Rani semakin tak keruan melihat suaminya duduk berdua dengan seseorang yang menjadi duri dalam rumah tangga mereka. Diredamnya amarah, ditenangkannya hati, ditatanya kalimat di tenggorokan, dan terakhir logikanya harus lebih maju daripada perasaannya.

Husin waspada, berdoa untuk beberapa menit selanjutnya. Sementara Dinda mencemaskan tatanan kerudung yang licin di bagian ujungnya, lalu sedikit merapikan sikap duduknya. Langkah Rani sekian persen lebih lambat, tanpa sedikitpun memalingkan wajah dari fokusnya, berusaha menguasai suasana. Hingga ketiganya berhadapan tak ada yang berinisiatif menggerakkan badan untuk sekadar menyuarakan bahasa tubuh.

“Ran, Dinda ada hal penting untuk keperluan acc pengesahan penelitian. Itu saja”, Husin coba memberikan penjelasan tanpa diminta.

“Oh, iya aku sudah tahu, lebih dari itu juga silakan”, kali ini Rani ternyata belum berhasil meredam amarah terpendam sejak ia membuka pintu pagar. Dia memaki dalam hati. “Shit!”.

Pertahanan Husin mulai retak, dan menebak hal buruk yang menit selanjutnya akan terjadi. Wanita kebaikan hatinya bisa turun ke titik nol atau bahkan minus ketika dikuasai emosi, sebab hatinya lebih tinggi dari pada logikanya. Dia gamang, antara menyuruh Dinda pulang atau masuk ke dalam sekadar menerima verifikasi bahwa istrinya tidak menaikkan level kemarahannya. Tapi semenjak ia pulang dari rumah sakit, komunikasi antara dia dan istrinya sebeku frezer lemari es, sehambar nasi aking terjemur tiga hari di tengah terik, dan tak ada saling berinisiatif memulai obrolan ringan. Hubungan mereka kini sebatas kasir minimarket dan konsumen pengunjung, atau waitress restoran dengan customer, atau petugas resepsionis dengan pendaftar pelayanan kesehatan.

“Kamu sebaiknya pulang Dinda”, anjuran yang lebih terdengar sergahan.

“Bapak takut dengan istri Bapak?”

“Bukan begitu, jangan sampai terjadi kembali hal buruk yang tidak diinginkan”, Husin sudah kehilangan pembelaan.

“Justru saya kesini sekalian mau meminta maaf, dan meminta supaya ke depan tidak ada lagi hal-hal prasangka yang dikhawatirkan, berbicara bertiga sepertinya lebih baik”, Dinda berdiri membetulkan kerudung yang sebenarnya masih rapi, memberi aba-aba untuk masuk rumah.

“Pulang saja kamu!”, Husin menarik lengan ramping yang menyibak bau wangi yang menggetarkan, mengingatkan tautan tangannya di leher Husin membelai punggungnya dengan lembut, penuh gairah menyentuh tubuhnya malam itu. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari istrinya, wanita dewasa yang tidak pernah punya inisiatif seksual pada pasangan sah-nya, menarik diri dan baru memberikan respon badani saat Husin memintanya. Husin membuang pikiran syahwati yang melintas di benaknya.

“Biar semua baik-baik saja, aku perlu menegaskan kembali, Bapak tidak perlu melarangku”, kalimat yang hanya keluar dari seseorang yang memang intim secara personal. Jelas jika keduanya memiliki kedekatan yang menafikan kekhawatiran penolakan. Kedekatan yang tidak terjadi pada hubungan pernikahan Husin dengan Rani.

“Mau menjelaskan apa?”, tetiba Rani muncul dari balik pintu yang sudah terbuka semenjak dia masuk, api dalam sorot matanya telah susah payah ia coba padamkan.

“Maaf mbak, kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi tidak perlu berpikiran macam-macam tentang hubungan kami, saya mengahargai pernikahan kalian”, masih dengan posisi berdiri di atas kursinya.

“Sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi?? Artinya dulu pernah ada hubungan apa-apa dong?”, reaksi Rani tak disangka. Husin belum pernah melihat istrinya sesinis itu. Begitulah reaksi seorang wanita yang sedang menghadapi emosi.

“Jadi kamu berubah pikiran? Baguslah. Jadi kita tidak perlu bersusah payah berbagi, toh sama saja tetap aku yang akan kalah, oh…bukan, maksudnya aku yang mengalah”,

“Rani cukup!”, Husin memandangnya tajam.

“Sampai kapanpun, kebencianmu padaku akan selalu membuatku buruk lahir batin di matamu”, entah mendapat kekuatan dan ilham kalimat darimana, reaksinya tak pernah ia rencanakan sebelumnya.

“Rani, dia cuma mau minta maaf”, Husin tetap tak ingin orang lain menangkap citra buruk pernikahannya, meskipun sudah terlanjur buruk. Membela istrinya di depan orang lain di rumahnya sendiri justru akan membuat citra rumah tangganya semakin buruk, maka ia memilih memenangkan hati Dinda dan berharap ia segera pergi, lalu dapat menenangkan istrinya kemudian, di waktu yang lebih lapang tanpa orang lain di antara mereka.

“Sudahlah Pak, semoga istrinya sadar bahwa perawatan hati tanpa perawatan diri tidak cukup membuat suami bahagia”, Husin meradang, seperti menjadi wasit bagi dua balita yang tidak bisa dimenangkan salah satunya.

“Pulang kamu Dinda”, sergah Husin. Sedang Rani hampir meradang dengan wajah merah dan mata penuh api. Sebelum semuanya menjadi lebih rumit, ditariknya tangan mahasiswanya itu menuju pagar dan menutup pagar dengan kasar.

Rani mematung di celah pintu yang terbuka, dengan hati retak yang memang sudah tidak sempurna. Mengumpulkan nafas, membuang umpatan buruk, dan membulatkan sebuah kalimat.

“Menikah saja dengan kekasihmu itu jika memang kamu lebih nyaman dan bahagia. Itu sederhana”,

“Tidak sesedehana itu”,

“Sesederhana kamu mengajaknya ke hotel, menikmatinya. Ajak saja dia menikah, lalu nikmati sepuasmu”, kekesalan Rani memuncak, kepalanya mendidih.

“Rani cukup!”, Husin mulai menghardik.

“Cukupkan pembicaraan atau pernikahan?”, api masih berkobar, tersulut kalimat-kalimat mengandung gas bahan bakar.

“Terserahlah apa maumu, kamu yang membuat aku jadi begini! Urus saja muka kusam penuh jerawat dan daging busukmu itu. Masih bersyukur aku mau denganmu, aku bisa mencari perempuan yang lebih subur dari kamu”, setan telah merasuki Husin hingga tak sadar kalimatnya menjadi belati tajam yang mengiris segala perlawanan istrinya. Disambarnya sepatu di rak merah di samping kamar bergegas menyandang tas dan berlalu meninggalkan luka baru di sayatan luka yang belum kering benar di hati Rani.

Air mata sekian ratus hari yang entah akan berkali lipat menjadi berapa kian ribu. Dengan hati bergolak ia menyongsong suaminya, menahannya agar mendengarkan hatinya.

“Mas, tak apa jika kamu mau menikahinya. Silakan, aku ridho, jika memang itu akan membuatmu ridho”, dengan air mata tak terbendung menahan tangan suaminya.

“Percuma dengan omong kosongmu. Harusnya dari dulu kamu bicara begitu”, amarah Husin semakin meluap.

Astaghfirullah Mas”,

“Haha, apa kataku?! Bullshit dengan ucapanmu. Lebih baik urus itu rahim kamu supaya subur, supaya suamimu tak mencari ladang yang lebih subur”,

“Hei hei, apa kamu mau aku panggilkan Dinda sekarang? supaya dia tahu aku sudah izinkan dia jadi istrimu?”, sesak ia menahan kalimatnya yang berat serta sergahan tangan Husin mengelakkan tangannya yang erat mengendali.

“Halahhh, mau menikah lagi pun tak perlu aku minta izinmu. Belajar agama dari mana kamu?”, tangannya menyentak telapan tangan Rani.

“Jadi maumu apa?”, Rani sudah pasrah pada keadaan. “Kita berpisah saja? Aku ajukan surat ke pengadilan? Begitu?”, amarah telah menggantikan rasa sedihnya.

“Pusing aku mendengar kalimatmu!”, Susah payah dipakai sepatu di depan pintu rumah. Sementara Rani masih mematung memandangi suaminya karena penolakan sikap yang diterimanya. Air matanya surut, bukan karena tak bersedih, bebal hatinya bertahun-tahun menghadapi masalah yang sama, menerima sikap yang sama, dan ego yang serasa seperti bola salju, semakin hari semakin membesar. Ada sebersit penyesalan kenapa ia harus kembali ke rumah ini, dengan sebuah harapan besar semua akan baik-baik saja dengan lembaran baru yang lebih putih. Ekspektasinya hancur berantakan. Rasa sakitnya bahkan melebihi yang ia duga, rasa kecewanya melampaui apa yang ia kira. Tak ingin pula ia mengecewakan Bapaknya yang sangat berharap ia bertahan pada rumah tangganya. Badai memang pasti akan berlalu, tapi ia pun tak tahu harus berapa lama ia memastikan segala badai akan seketika berlalu.

“Hubungan kita jelas tidak sehat, aku butuh kejelasan. Jika memang aku harus pergi aku pergi. Jika memang kamu mau menikah dengan Dinda, menikahlah tanpa perlu takut aku menghantui hubungan kalian”,

“Atur saja sesukamu, tak pernah kamu menghormatiku. Bahkan percaya padaku saja kamu tidak”,

“Aku butuh waktu untuk menata kembali rasa percayaku. Tidak mudah menata hati utuh kembali. Jadi tolong bantu aku untuk tetap berprasangka baik jika kita mau lebih baik ke depan”, Rani tetiba melunak.

“Bagaimana mau lebih baik, jika percaya saja kamu tidak?!”, perseteruan seperti diberi panggung kali ini, dan kedua pemain terlihat ingin menuntaskan laganya.

“Pilih saja, menikah dengan wanita itu, atau menjauhlah dari dia jika hubungan kalian melanggar syariat Tuhan”,

“Aku yang seharusnya meberimu pilihan, bukan semua apa maumu. Tau apa kamu tentang kami?”

“Menginap berdua di hotel itu kau anggap biasa? Zina kalian!”, sebongkah beban yang selama ini tertahan di hati tanpa terkatakan seperti diturunkan, melegakan hatinya namun membahayakan pernikahannya.

“Memang kamu bisa bantu proyekku? Tidak kan? Cuma dia yang bisa. Aku kerja juga buat kamu”,

“Kau pikir materi bisa paling membahagiakan? Teramat receh jika bahagia hanya diukur dengan uang, lalu pernikahan kau sia-siakan”

“Ahh, berdebat denganmu tak akan selesai sampai kiamat. Terserah apa maumu, makin pusing aku”, Husin beranjak di antara daun putri yang merambat di depan teras rumah mereka, menjadi saksi hari-hari berat mereka hampir setiap hari.

“Masalah kita belum tuntas, atau mau aku yang tuntaskan?”, Rani makin tak sadar atas apa yang diucapkannya, bahkan penggalan kalimat-kalimat yang ia tata sebelumnya seperti berhamburan entah kemana.

“Terserahlah”, pendek tapi mengandung tanda tanya panjang, setidaknya bagi Rani.

Ia sudah tak punya waktu untuk menahan, apalagi melarang laki-laki itu pergi, sekali lagi. Seandainya ia tak kembali pun sebelumnya, Ia telah memprediksi apa yang akan terjadi sesudahnya. Takdir tak pernah berjanji setelah badai akan ada damai. Takdir pun tak pernah menjamin setelah rinai menderas akan ada pelangi. Hanya Tuhan yang mampu menjawabnya, Ia tetap satu-satunya Pemegang kendali. Hidup yang berjalan, akan mengajarkanmu. Meski zaman menua, renta dan mati. Tapi jiwamu terus tumbuh, mendewasa. Asal kau berjanji, tak akan terlalu berharap apa yang kau sebar akan kelak kau tuai. Yang terjadi terjadilah. Don’t expect too much. Mengobati orang lain tak perlu menunggu lukamu sembuh. Kering hatimu tak berarti tak bisa membasuh. Hidupmu, adalah tentang dirimu. Bukan tentang orang lain, biarkan jika segalanya berjalan di luar batasnya, maka hukum Tuhan yang akan membawanya kembali pada tujuan penciptaannya. Kembali pada hukum karmanya, sunnatullah sang Pencipta.

“Kamu masih menginginkan suamiku?”, ucapnya beberapa waktu lalu melalui sambungan telepon. Tak ada jawaban dari seseorang di seberang sana.

“Begini saja, jika kamu betul ingin hidup bersama suamiku karena kamu memang berarti untuk pekerjaannya. Silakan, tapi aku yang akan pergi”,

“Tak perlu pergi Mbak, aku siap jadi yang kedua. Dan itu adalah solusi terbaik untuk kita bertiga”, negosiasi yang mungkin akan dipertimbangkan atau akan berakhir sia-sia.

“Iya, solusi terbaik untuk kalian, tapi tidak untukku”, Rani menenangkan diri. “Tenang Dinda, aku tidak akan keberatan jika harus mengalah, meski jujur ini berat, setelah aku susah payah berhasil memaafkan kalian”,

“Tapi suamimu tetap menginginkan kita berdua ada dalam hidupnya”,

“Ada bukan berarti harus bersama-sama, bertiga, bukan?!”

“Mbak kan lebih tahu ikatan pernikahan lebih terpuji daripada kami bersama tapi tidak terikat?”

“Kamu apa-apaan?!, seharusnya aku yang melindungi pernikahan kami dari kehadiranmu, bukan malah kamu yang merasa terdholimi tidak diizinkan masuk dalam lingkaran kami, sebegitu teganya. Terserah sekarang, ambil saja suamiku sesukamu”, bodohnya jawaban itu hanya mengendap dalam hati Rani.

“Kita bertemu saja besok di rumah, kita bicara bertiga”

Sehari sebelumnya Rani memang sudah memprediksi kedatangan Dinda, tapi tetap saja kontrol emosinya selalu tidak penuh, ditambah Husin yang selalu membela wanita itu, seolah-olah dia adalah halangan mereka bersatu, padahal dia yang seharusnya paling terluka, dikhianati karena orang ketiga. Begitulah luka, gelas yang terpegang tangan pun meski tak menyakiti tetap terasa menyakitkan. Begitulah luka, hanya waktu yang bisa membuatnya kering.

Definisi mencintai terkadang adalah dengan melepaskan, seperti seseorang yang justru melepaskannya saat ia mulai mencintai, saat seharusnya keduanya bisa saja menumbuhkan cinta bersama, merasakan cinta yang sama. Tapi nyatanya, cinta bisa membebaskan, tidak selalu memiliki satu sama lain yang justru dapat menyakiti satu sama lain. Pada detik ribuan yang dilewati manusia, ada ikhlas yang tumbuh dengan sendirinya dan ada pula ikhlas yang tumbuh dengan terpaksa. Tapi keduanya, tetap berasal dari Tuhan. Ikhlas adalah amanat Tuhan, kita ambil sendiri dari tangan Tuhan atau diberi tanpa persiapan oleh Tuhan. Terima saja, dan pada akhirnya semua pemberian Tuhan selalu dimaksudkan baik, entah hari ini atau esok kita baru menyadarinya.

Seseorang itu mengajarinya, dan ia baru menyadarinya setelah sekian puluh tahun.

Bersambung…

Kenang-Kenanga [30]

Hal terberat dari mencintai adalah bersabar, saat ditinggalkan. Tapi hal terberat dari mencintai adalah bertahan, saat seharusnya meninggalkan. Cinta yang rumit bisa jadi sederhana saat kita sederhanakan, dan cinta yang sederhana bisa jadi rumit saat kita uraikan. Maka jika modal utama pernikahan adalah cinta, maka ketahuilah, cinta itu adakalanya pasang, adakalanya surut. Jika pasak utama pernikahan adalah cinta, maka bagaimana bisa kita tegak di tengah badai padahal cinta itu labil, terkadang sederhana namun seringkali rumit.

Mencintailah tanpa alasan, tanpa butuh seribu alasan atau sejuta sebab, kata mereka para pujangga. Tapi celakanya, sebagian besar pujangga itu hidup berkalang kata-kata, tanpa mampu mengekstraksi campuran asa yang terealisasi dengan mimpi berbalut ilusi. Bagusnya, mereka menemukan hikmah di sebalik kata mencintai. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi pemuja yang cacat indera.

Bagian tersulit dari mencintai adalah mempercayai. Memastikan tak ada intervensi masa lalu dan memastikan penjagaan harapan di masa depan. Padahal takdir tidak pernah pasti, dia nisbi di tangan Tuhan. Maka jika kita percaya Tuhan, segala yang nisbi di tanganNya mampu kita buka dengan doa. Oleh karenanya, mengapa beriman itu sulit, percaya itu berat, sebab kita tak pernah punya kontrol penuh atas hati kita. Tangan, kaki, dan apapun anggota raga kita mampu kita kendalikan dengan kekuatan pikiran, sebab kita memiliki kendali penuh atas keterkendalian mereka. Tapi hati, kita tidak pernah punya kendali penuh atasnya. Hati itu milik Tuhan, tempat dimana Tuhan mengontrol bernama manusia, yang telah diciptakannya.

Oleh sebab itu, dalam pernikahan mampukah kita percaya pada orang yang sama seumur usia kita?. Jika modal dasar pernikahan adalah cinta, maka cinta bisa dibangun dan diperbaiki kapan saja. Tapi jika dasarnya adalah percaya, katakan! siapa yang mampu memulihkan rasa percaya kecuali Tuhan. Menikahlah karena Tuhan, maka Dia yang akan mengendalikan kalian, alih-alih dikendalikan oleh cinta yang lebih sering membutakan.

Dua puluh tahun, dua dekade lamanya, mereka dipisahkan oleh garis takdir yang berseberangan. Sekian purnama berganti gerhana, tak ada peluang garis takdir mereka bersinggungan. Bukan waktu yang sebentar untuk dapat memastikan sebuah hati tetap tinggal di rumahnya, di antara jutaan manusia yang datang dan pergi dalam kehidupan. Gestur dan bahasa tubuh mungkin masih saja dapat terbaca, meski gurat hidup membentuk postur dan raut rupa menjadi berbeda. Menua bersama usia, meski ada hal yang tak bisa lekang oleh masa.

“Rani, itu kamu?”, Rani tertegun beberapa jenak, melihat Damar hari ini. Dengan kaca mata yang berbeda, masih tampak mata tajamnya. Tubuh kurus berbalut kaos hitam berjaket polo menyembunyikan daging badannya yang kusut. Otot jari-jemarinya menonjol, dengan ujung kuku kelabu.

“Oh eh, Suster saya Rani kawan pasien anda”, salah tingkah. Spontanitas yang sebenarnya tidak ada dalam list rencana Rani. Pertemuannya dengan Damar kali ini sangat berpotensi akan membuat situasi menjadi semakin rumit dan kacau. Padahal dia sedang dilanda kegalauan yang luar biasa.

“Suster, saya mau ngobrol dengan.. kawan saya. Kalo sudah selesai nanti saya hubungi ya..”, Damar cukup percaya diri. Suster mengiyakan.

Dengan tenaga seadanya Damar meraih tuas dan mulai mendorong roda. Tapi Rani segera menolongnya.

“Mari aku bantu”, ia menjangkau gagang di belakang kepala, bersiborok dengan rambut hitam menjuntai ke bahunya, sepertinya sedikit ada perhatian terhadap kesehatan rambutnya.

“Ran, kita ngobrol disana”, Damar menunjuk bangku semen tempat Rani memergoki keberadaan Damar tempo hari. Rani menghentikan laju roda, dengan ribuan kata berjejalan di kepala, bingung harus memulai dengan kalimat apa.

“Kamu apa kabar Ran?”, sama persis dengan kalimat pertama yang telah di tulis Rani di bait pertama.

“Alhamdulillah”,

Keduanya terdiam, masing-masing pun masih menyusun kalimat kedua di bait pertama setelah dua puluh tahun tak bersua dengan membawa tanda tanya di kepala.

“Itu saja?”, Damar berbicara santai. Rani kebingungan.

“Siapa yang sakit Ran? Suamimu? Anakmu? Kawanmu?”, Damar tak bisa menyembunyikan rasa penasaran pada wanita di hadapannya.

“Suamiku”, singkat dan tertebak oleh Damar, meski ada yang berdentum di dasar hatinya.

“Enak ya suamimu…, sakit ada yang menunggu…Aku dulu bermimpi dapat menua bersama keluarga yang kukasihi. Anak yang kusayangi, istri yang kucintai” “Tapi sudahlah, tidak patut kita meratapi takdir. Apa yang sudah berlalu biarlah berlalu”, Pemilik mata tajam itu menerawang, jauh menembus tembok rumah sakit, memangkasi dedaunan beringin di samping pagar, menyusur jalan raya lalu bermuara pada catatan-catatan perjalanan yang terkenang olehnya dan wanita yang kini di hadapannya. Harapan itu menjelaga, seperti kenang-kenangan yang mengekstraksi kisah dan menjadi prasasti begitu saja. Ingatannya telah melompat ke belakang begitu jauh, meski ia pasti terjatuh.

“Kemana saja kamu sekian tahun?”, ada amarah yang teredam oleh pertanyaan. Tak berhak sama sekali ia marah, sebab siapalah dia bagi Damar yang tak juga menjadi alasan untuk tak pergi.

“Aku pergi untuk kebaikan semua, sebab hidupku sudah rusak, jangan sampai hidup orang-orang yang kusayangi di sekitarku juga sama rusak sepertiku”, sorot matanya masih tajam membelah bongkah kenang pahit yang seharusnya sudah terkubur berkalang kenanga.

Rani hanya mengernyitkan dahi, tak mengerti apa yang disampaikan. Hanya berekspektasi tanpa berargumentasi.

“Aku sakit Ran, hiv“, mata itu kini merunduk, mengumpulkan harapan yang berserakan.

“Aku sakit sudah lama, bahkan sejak dulu kita bertemu. Tapi dulu masih hiv, sekarang aku hanya berupaya melanjutkan hidup, semoga apa yang pernah aku lalui terhapus dengan apa yang kini aku jalani”, wanita di hadapannya masih memperhatikan serius tanpa banyak pertanyaan.

“Dulu aku takut orang-orang di sekitarku akan tertular dengan penyakitku. Maka aku memilih pergi dan bertaubat. Dan untuk menikah, aku juga takut”, ia tersenyum getir, tak menunggu respon.

“Aku minta nomor kontakmu, aku akan mengunjungimu kembali, tapi sekarang aku harus kembali, karena ada kerabat suamiku”,

“Jagalah suamimu, salam untuk dia mudah-mudahan lekas sehat”,

“Kamu masih berhutang penjelasan padaku”, Damar tersenyum menyaksikan wanita di hadapannya masih sama karakternya seperti dua puluh tahun lalu.

“Maafkan aku Rani..”, gumam Damar saat perempuan dewasa itu menghilang di kejauhan.

Pahit kisah yang harus ia kenang dan ceritakan. Meski ia bersyukur banyak hal yang sudah ia lalui untuk tetap bertahan melanjutkan hidup. Betapa dulu ia terpuruk, ingin mati, sampai akhirnya ia bertemu dengan Rani. Seseorang yang selalu berenergi, dan mampu menularkan energi pada jiwanya yang penuh pesimis. Dari Rani, ia belajar memandang hidup dengan optimis. Berkarya dengan passion-nya, berkumpul bersama orang-orang yang bervisi-misi sama dengannya, mengindahkan hidupnya yang berantakan, meskipun tetap saja berserakan. Komunitas Aksara telah mengajarkannya ilmu kehidupan, memaknai hidup dengan keindahan seni. Betapa dulu ia jenuh dengan pekerjaan kantornya yang menumpuk di pagi hari, lalu bersama mereka tumpukan itu terurai dalam bait-bait puisi di malam hari.

“Damar, sudah kusampaikam salammu pada suamiku. Maharani”, bunyi pesan singkat yang malam itu tertera di gawai Damar.

“Alhamdulillah,” singkat ia balas. Ia tak bertanya banyak tentang suami Rani, sebab ia merasa tak punya hak untuk mengetahui banyak kehidupan Rani. Andai dulu harapannya menjadi pendamping hidup Rani terwujud, mungkin hari ini akan ada cerita yang berbeda. Angan yang ia jaga agar tak berubah menjadi harap yang utophia.

Rani duduk di sisi kanan tempat tidur Husin. Setelah dua hari tak sadarkan diri akhirnya ia membuka mata. Ia tak berharap banyak Rani akan mengampuninya, tapi dengan kehadiran istrinya cukup bukti bahwa wanita itu tak memuja egonya, dan tetap memilih menjadi manusia yang baik. Hati Husin gerimis, tapi khawatir pada kalimat perpisahan yang mungkin saja akan diminta Rani. Sebab ia adalah wanita paling keras kepala yang dikenalnya, tak pernah punya ampun pada hal-hal yang menyimpang dari prinsip dan norma hukum yang kuat sekali ia pegang. Selama ia sadar tak banyak ia mendengar wanita yang banyak bicara itu lebih diam dari biasanya. Ia tetap melayani keperluan pribadinya, tanpa banyak berbicara. Lebih banyak menjawab, tanpa inisiatif bertanya.

Beberapa saudaranya yang tinggal dari luar kota datang menjenguknya, hanya ayahnya saja yang entah belum tahu atau pura-pura tidak tahu, atau tahu tapi tak pernah ada keinginan menjenguk putra satu-satunya dari kelima anak perempuannya. Rusaknya citra ayah di alam bawah sadarnya telah cukup mengimbau hatinya untuk tak mengharapkan kedatangan lelaki yang seharusnya menjadi panutannya itu. Frame nilai atas ayahnya cukup berpengaruh pada pribadinya hari ini, terutama pada saat ia berhadapan dengan konflik. Sebagaimana ia ingat dahulu lebih sering lari dari pertengkaran dengan kawan sekelasnya, atau bolos mengaji karena takut pada bully kawan-kawan yang menyorakinya sebab kesalahan kecil yang dibuatnya. Atau pada kebiasaannya pergi ke rumah neneknya tanpa izin ibunya jika kedapatan melakukan kesalahan yang ia sembunyikan dari ibu dan kakak-kakanya. Akibatnya hari ini, saat ia merasa terancam dengan aturan-aturan dan penghakiman kesalahan oleh istrinya, ia telah terlanjur memilih mencari pembelaan dari seseorang wanita lainnya yang sebenarnya tak pernah punya kekuatan untum membela. Wanita itu hanya sebatas melindungi dirinya saat ia bersembunyi, dan pembelaan itu nyatanya fatamorgana. Sebab, membela diri itu hanya berlaku pada siapa yang benar, maka jikapun yang bersalah mampu membela diri itu hanyalah sebuah alibi untuk dapat membenarkan kesalahannya. Hingga hari ini pun wanita yang ia anggap dapat melindunginya itu tak tampak bahkan sekadar menanyakan keadaannya setelah konflik sebelumnya. Justru wanita yang menyerangnya-lah yang hadir disini, entah untuk mengampuni atau merawatnya untuk kemudian ia hakimi kembali. Maka ia pasrah pada nasib yang meskipun sudah digariskan Tuhan, ia telah diberi kesempatan menulisnya dengan pensil dan terlanjur menulis kesalahannya sendiri.

“Pak Husin perlu lima hari istirahat disini untuk penanganan luka agar tidak infeksi”, Dokter tiba-tiba masuk setelah sebelumnya memeriksa pasien di ruang sebelah kanan. Karena pasien ruang kelas dua di sebelahnya masih sama-sama harus dirawat intensif, percakapan sepasang suami-istri itu pun sangat terbatas perihal penanganan medis. Tak pernah ada hal pribadi yang coba diulas kembali, disamping itu juga keluarga Husin tak pernah tahu-menahu masalah mereka, tidak seperti Rani yang sangat terbuka pada orang tuanya. Maka topik pembicaraan mereka hanya sebatas hal medis dan keperluan Husin.

“Baik Dokter”, masih dengan suara lemah Husin mencoba menjawab. Dokter memastikan obat, dan tampak perawat memeriksa saluran pembuangan urine yang tersendat.

“Terimakasih Ran, sudah memaafkanku”,

“Siapa yang bilang aku sudah memafkanmu. Semua pengkhianatanmu akan dibalas Tuhan”, jawab Rani dalam hati kecilnya, tak terutarakan dari mulutnya. Namun ia hanya mengangguk, dengan berat diliputi rasa iba.

*****

Setelah pulih dari sakit tifus, Damar berencana bertemu dengan Rani dan suaminya. Sakit tifus yang dideritanya dari kecil memang kerap kali kambuh bahkan sebelum ia tahu virus ganas itu hinggap di tubuhnya. Setelah keadaan tubuhnya membaik Ia akan memenuhi rasa penasaran pada lelaki yang berhasil meluluhkan keras kepalanya wanita itu. Ia juga cukup penasaran dengan manusia kecil yang barangkali mewarisi karakter Rani. Malam kelima semenjak dia bertemu Rani ia cemas jikalau Rani menghilang begitu saja tanpa kabar seperti yang dilakukannya dahulu, barangkali untuk membalas dendam. Bahkan makin hari makin bertambah rasa penasarannya karena Rani belum berbicara banyak, sedangkan pesan singkatnya meminta izin menjenguk suaminya belum juga dibalas.

Dua puluh tahun yang berlalu memutar kenangan pahit saat peristiwa keji itu merubah hidupnya, merubah seluruh dunianya, merubah pandangannya memandang hidup. Saat sahabatnya menusuknya dari belakang, menjerumuskannya pada keterpurukannya hingga hari ini.

“Apa-apaan kamu Julian”, saat kawan satu kos dengannya menjebaknya dalam pesta malam tahun baru bersama dengan banyak kawan Julian yang ia tak cukup kenal. Ia dicekal oleh lima orang yang mengunci tangan dan kakinya termasuk Julian, dan satu orang memaksakan organ vitalnya masuk di tubuh bagian belakangnya. Obat bius yang dimasukkan dalam minumannya telah kehabisan pengaruhnya. Ia tak tahu berapa organ vital yang telah menjamah tubuhnya. Nyeri yang teramat sangat ia rasakan sampai kemudian bergantian keempat orang itu melakukan tindakan bejat yang sama. Ia kehabisan tenaga, dan kehilangan kesadaran setelahnya.

“Sudahlah, daripada kamu ingin menikah terus tapi belum keturutan, mending senang-senang dengan kita, daripada berzina”, tawa Julian membahana tanpa rasa bersalah setelah permohonan maafnya ditolak oleh Damar.

“Tutup mulutmu Julian,”

“Percuma juga kamu mengelak, memangnya aku tak suka melihat kau coli sendiri si kamar sambil nonton video porno. Jangan munafik”, Damar masih tertawa.

“Aku tahu kamu menyukai kawan lelakimu, tapi kamu takut semua orang membulimu. Tenang saja Damar…bersama kami, kamu tidak akan dibuli lagi. Kami pun tidak seburuk apa yang sudah orang-orang munafik itu tuduhkan”, “Kamu tidak salah, ayolah hadapi kenyataan, move on

Sejak saat itu Damar menjadi depresi berlebihan, ia drop out dari kampus. Hingga kemudian Julian dan kawan-kawannya mengajaknya bergabung setelah mencelakainya. Pasrahnya ia pada belenggu Julian ia maksudkan sesuatu. Tak dapat dipungkiri bahwa kecelakaan yang menodainya waktu itu tak lepas dari perhatian Julian yang setiap malam mengamatinya menonton blue film. Damar pun selamat dari depresi, namun sembuh di tangan orang-orang yang dulu menyakitinya. Tapi misi ia simpan sendiri, ia terlanjur masuk dalam jaring yang salah, hingga lantas menarik diri dari pergaulan normalnya. Pergi meninggalkan komunitas Aksara yang mempertemukannya dengan seni, juga mempertemukannya dengan Rani. Awalnya, dia optimis akan dapat sembuh karena kebersamaannya dengan Rani, tapi setelah ia tahu bahwa sebagian besar kawan di jaringannya terpapar hiv, kemudian ia mundur perlahan. Memilih untuk tak mengambil risiko atas kehidupan orang lain. Hidupnya akan terus berjalan, dengan atau tanpa Komunitas Aksara, dan juga Rani. Setidaknya ia pun tak mau mengambil risiko dampak yang muncul di kemudian hari akibat traumatik kepada lingkungannya, terutama pasangan hidupnya kelak.

Edelweis yang dulu pernah ia berikan kepada Rani adalah salam perpisahan Damar yang tak pernah sekalipun disadari oleh Rani. Sesudah itu, ia bekerja di sebuah hotel di Malang dan bergiat bersama ikatan komunitas yang dikenalkan oleh Julian. Kehidupan yang baru membuatnya bisa meluapkan emosi terpendamnya melalui korban-korban baru sebagaimana dulu Julian dan kawan-kawannya menjadikannya korban. Ia adalah korban pelecehan seksual yang bangkit, tapi bangkit untuk membalas, melampiaskan pada hidup orang-orang yang telah terlanjur merusaknya.

Dan disini, masih jelas peristiwa dua dekade lebih yang pernah terjadi. Saat Damar ingin menyampaikan kejujuran hatinya pada Rani untuk pergi meninggalkan Aksara dan semua yang membersamainya menemukan dirinya, meskipun pada akhirnya ia kalah dan menyerah pada ujian hidup. Namun saat itu ia tidak siap dengan segala pertanyaan yang mungkin akan lebih banyak berpeluang menghakimi daripada berempati. Maka akhirnya ia betul-betul pergi tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal, kepada siapapun. Dan segala pertanyaan yang kemudian hadir di benak Rani dan kawan seperjuangan Komunitas Aksara terjawab oleh keputusan prasangka baik dan harap doa yang sewajarnya.

“Suamimu bagaimana?”, siang itu di sebuah kantin dekat sekolah Rani.

“Sehat”,

“Aku mau pulang ke Bukittinggi Ran”,

“Mau pergi lagi?” “Hobi banget pergi, seharusnya kamu rahasiakan saja, seperti dulu hehe“, seperti tamparan kecil di pipi tirus Damar.

“Aku sudah tua Ran, sudah cukup perantauanku disini”,

“Kamu betul belum menikah? Jangan bohong deh“,

“Ya Allah Ran, buat apa aku bohong. Aku sudah tidak punya kepentingan, kamu sudah milik orang”,

“Memang dulu aku milik kamu?”, Rani menelengkan kepalanya pada sahabatnya, dulu.

“Ya nggak juga sih“, Damar tersenyum kecut. Salah satu yang ia suka dari Rani adalah sikap apa adanya yang natural tanpa sandiwara.

“Mudah-mudahan Tuhan hadirkan seseorang yang tepat untuk menemani hidupmu”,

“Ammin…”,

Siang itu lebih hangat dari biasanya, teriknya redam oleh angin pegunungan dari arah selatan. Rekan-rekan pengajar Rani telah pamit lebih dulu sekitar satu jam lalu, meski satu dua masih bercengkrama di kantor administrasi.

“Ambillah hikmah perjalanan pernikahanku. Jangan gagal sepertiku”, tampak kerutan kecil bercabang dari dua garis tawa di sekitat bibir wanita berumur itu. Sebuah gurat tempaan hidup yang mendewasakan.

“Bertahanlah Ran, hidupmu sudah sempurna”,

“Iya sempurna sekali”, ia tersenyum miris. “Tapi aku punya hak untuk memilih, sama sepertimu yang bebas memutuskan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri”, “Dan kamu pun bebas menghiburku, tapi tidak dengan memintaku kembali berkaca pada cermin yang telah retak”, salah satu karakter menonjol Rani adalah frontal pada hal yang tidak sesuai dengan prinsipnya.

“Sejahat itukah kamu Rani?”,

“Tidak ada toleransi untuk sebuah kepercayaan, sebab cermin yang retak tak akan pernah mampu memantulkan bayangan sempurna. Hidup memang terdengar sedikit kejam untuk sebuah rasa percaya”,

“Nanti mendakilah ke Kerinci bersama Husin, lalu singgahlah di rumahku”, Damar meneguk jeruk hangat di mejanya. “Itupun jika aku masih hidup”, getir kalimatnya.

“Sebelum kembali ke tanah kelahiranmu, kamu betul tidak ingin berbagi kisah pada ‘mantan’ sahabatmu ini, kemana selama dua puluh tahun kemarin?”

“Aku hiv Ran, itu sudah sangat mewakili semua penggal perjalanan hidupku selama dua puluh tahun”, ada sebersit penyesalan yang tampak di sudut matanya.

“Hidupmu sama getirnya dengan hidupku ya..”, keduanya larut dalam angan yang teraduk bersama asam manis kenangan di gelas jeruk berembun beraroma kenanga.

“Dulu aku mengira kita akan berjodoh”, Damar menerawang dan sedetik selanjutnya ia menyadari kalimat bodohnya.

Hmm, lantas? Tak perlu kita bahas masa lalu yang semakin akan menenggelamkan kita pada tak siapnya kita menerima takdir”, Rani mengaduk-aduk jeruk dinginnya yang tersisa seperempat di gelas, sedotan putihnya beberapa kali membelit bunga kenanga sebagai campuran minuman.

“Andai aku masih punya kesempatan memperbaiki hidup kita, sedangkan hidupku sendiri saja teramat kacau”, kalimat demi kalimat tak berguna yang ia sadari terus mengalir bersama jeruk hangatnya yang menyisakan rasa pahit di remahan bijinya.

Dua hati di persimpangan jalan, antara dua jalan berseberangan. Saat seharusnya ia melanjutkan hidup untuk dirinya sendiri, seseorang dari masa lalunya hadir membawa kembali segala yang telah ia tinggal untuk diingat kembali, dikenang sekali lagi. Dan celakanya, dengan rasa yang tidak berubah sama sekali.

Bersambung…

Kenang-Kenanga [29]

Keluarga, adalah mereka yang sejatinya Tuhan hadirkan dalam hidup kita sebagai benteng dari api neraka (Al-Qur’an].

Karma selalu melakukan tugasnya dengan sangat baik, hutang rasa sakit kini Tuhan balas dengan rasa sakit. Kendati berbeda, alam seakan menunjukkan bahwa hukum kausalitas itu berlaku dan kerap merepetisi pola yang sama. Rani mungkin sakit saat itu, namun hari ini tuntutan egoisme akan sebuah pelampiasan nyatanya kalah oleh sisi iba sayangnya seorang wanita. Bagaimanapun, Husin adalah satu dari antara bermiliar manusia yang Tuhan takdirkan hadir dalam kehidupannya.

Husin terbaring di ruang kelas dua perawatan intensif. Luka bakarnya cukup serius. Sakit lambung yang dideritanya datang bersamaan dengan musibah yang menimpanya. Hampir sebulan tak ada kabar dari Rani cukup membuatnya frustasi. Ia takut tak diampuni, lalu kemana ia harus berlari, sedang rumah masa kecilnya telah berai. Ia tak ingin mengulang kesalahan kedua orang tuanya, yang menjadi sebab ketakstabilannya hari ini. Pahit ia mengenang ketaksiapan seorang anak balita yang dirampas kasih sayangnya oleh keadaan yang digariskan takdir. Dan hari ini pun ia tak siap jika harus kehilangan kasih sayang itu kedua kalinya. Rumah pelarian masa dewasanya tak lagi membuka pintu, ia takut sendiri. Ia takut hidup sendiri, lalu mati sendiri. Setelah berkali pelarian melelahkan hidupnya, ia terjatuh, di depan pintu rumahnya sendiri.

Selang infus mengalirkan tetes demi tetes harapan kehidupan. Sebagian tubuhnya putih terbalut kain medis. Monitor pendeteksi detak jantung masih menunjukkan grafik normal. Kondisi Husin lebih baik, menurut dokter yang setiap hari memantau perkembangan kesehatannya. Pengaruh obat masih melingkupi kesadarannya, sehingga ia masih belum dapat berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Ibu yang datang semalam, pagi setelah shubuh pamit kepada Rani karena harus mengurus adik-adik Husin dari Ayah sambungnya, sedangkan suaminya harus masuk kerja pagi. Kakak-kakak Husin kabarnya akan datang esok lusa karena jarak dan keterbatasan jadwal penerbangan.

Rani gamang, sempurna yang ia puja kalah dengan rasa iba yang menekan tinggi idealismenya. Sisi kemanusiaannya jelas ada yang terpuaskan pada hal setimpal yang menayangkan rasa sakit terbalaskan, sebab tak mungkin ia kuasa membalas dengan pengkhianatan serupa. Tapi ia juga menyesali kenapa akibatnya bisa sefatal ini, bukan lagi hati yang berbayar hati, tapi nyawa yang hampir melunasi. Gontai ia menyusuri koridor putih rumah sakit, di sela kerumunan diskusi darurat keluarga-keluarga yang juga tengah diuji, oleh Tuhan yang sama. Di ujung koridor tampak seorang Bapak tua berkemeja kelabu oleh kotor debu menggelar kertas nasi dengan seonggok makanan yang ia makan di samping sandal karet hitam, di hadapan seorang anak berusia sekitar sepuluhan tahun.

Ia harus banyak melihat ke bawah, pada nasib manusia-manusia yang tragedi. Yang tak punya pilihan kedua selain menjaga lilin kehidupan di tengah badai. Barangkali hidup yang ia tengah jalani kini tak seujung kuku dengan peserta kehidupan lain yang harus melampaui jarak lebih jauh dan medan yang lebih terjal. Ia sadar persis bahwa yang harus ia lakukan adalah tetap bersyukur di tengah ketidak- idealan hidup. Sholat dan sabar mungkin bukan jalan alternatif, tapi mesti menjadi satu-satunya solusi. Dari kemarin tak ada makanan yang masuk perutnya, sebab tak berminat ia pada satupun, termasuk pada buah tangan yang dibawa Ibu mertuanya semalam.

“Rani, tolong maafkan Husin. Ibu mohon kelapangan hatimu”, Seorang Ibu yang tak peduli pada rumah tangga anaknya selama ini pun mengiba padanya.

“Cukup Ibu yang gagal dulu, kalian orang berpendidikan. Kalian lebih bijaksana dari kami dahulu. Ibu percaya kamu bisa melewatinya dan membangun kembali apa yang kalian cita-citakan dulu”, Rani menatap wanita tinggi semampai dihadapannya.

Ia diam saja, raut wajahnya tak menyiratkan apa-apa kecuali sebuah keberatan yang menarik-ulur logika dan perasaannya. Tapi setelah itu, ia memeluk pundak wanita di hadapannya, menyalurkan aliran batinnya, membahasakan jawabannya dengan gestur tubuh, sembari memungut semangat baru yang orang-orang di sekelilingnya coba hadirkan.

Ia teringat pada percakapan dua dekade silam bersama ibunya, saat bertanya tentang kecenderungan hatinya untuk menikah, setahun setelah ia wisuda.

“Jika kamu ingin membuktikan kemandirianmu sebagai seorang wanita, kamu berhasil sepenuhnya. Ibu tahu, kamu pun bahkan bisa hidup tanpa siapapun, tapi jangan arogan pada fitrahmu”, saat itu ia tersinggung, kenapa semua orang mengukur keberhasilan seorang wanita dengan variabel perkawinan. Masalahnya adalah berani-beraninya mereka mendikte takdir manusia lain. Baru kali itu ia merasa ibunya tak seperti sebelumnya. Hingga akhirnya ia menyesal, sebab setelah ia membuat cukup jarak sampai kemudian pernikahan yang gagal sama sekali, Ibu yang telah ia anggap berubah itu pergi tanpa pernah lagi memusingkan status lajangnya, untuk selamanya.

“Ibu tolong doakan saya”, Rani terbata saat wanita di hadapannya melepaskan pelukannya.

“Pasti”, sambil melangkah pergi, sampai yang terlihat hanya punggung ramping menghilang di ujung koridor. Husin tak mewarisi postur ibunya, semua gen fisiknya turun dari ayahnya yang posturnya lebih pendek dari laki-laki pada umumnya. Namun raut wajahnya sekilas tersirat senyum ibunya.

Rani menyandarkan lelah hatinya di sebuah bangku semen berornamen batang kayu di bawah pohon ketapang rindang, melebar seumpama kanopi. Gemelatak buahnya di atas pasir ditumbuhi rumput gajah rapi, dipatuk burung-burung gereja satu-dua, mendekat ke ujung sepatunya. Lalu-lalang tenaga medis membawa pasien, para pembesuk yang ramai di jam besuk, dan petugas kebersihan yang tak berhenti memastikan lantai bersih dari sampah. Di ujung ruangan di batas koridor di samping ruang terbuka di sisi belakang, dari kemarin ia melihat petugas medis menyuapi seorang lelaki dewasa bertubuh kurus dengan tangan disiplin menopang penyangga tangan. Hari ini pasiennya memakai kaos panjang dan celana olahraga, sedang kemarin ia melihat sang petugas medis memakaikan masker dan tampak keduanya bercengkrama. Tak ada yang aneh dengan pemandangan di hadapannya, lazimnya suasana rumah sakit. Hingga sejurus kemudia ia melihat dari kejauhan, kaos yang dikenakan pasien yang duduk di kursi roda. Kaos yang sangat familiar dalam ingatan lama Rani. Ia menajamkan insting penglihatannya, ingatannya mengembara pada kenangan beberapa lampau ke belakang.

“Kamu setia sekali dua hari masih dengan baju yang sama”, cibir Rani basa-basi.

“Karena aku….hmm…jawabannya ada di tiga kalimat pertama pernyataanmu”, Lelaki jangkung berkacamata itu puitisnya tak terkalahkan, maka dari itu Rani ingin mengalahkannya, bahkan ingin mengalahkan jawaban yang baru saja ia lontarkan.

Romansa sedang kuncup-kuncupnya, bak seorang anak wanita yang menunggu bunga mawar pertama yang ia tanam dan rawat mulai mekar. Memutik, mengelopak sesenti demi sesenti, hingga memekar hampir paripurna, lalu tetiba sang anak sakit tanpa sempat ia menyiram bunga mawar merah di halaman rumahnya, tanahnya mengering, cacing yang biasa menghuni akarnya hijrah peraduan, batangnya mengusut, daunnya lunglai, lalu layu sebelum sempat ia memekar sempurna. Siapakah yang dapat memastikan sekuncup mawar memekar hingga akhir? Siapakah yang mampu mengiyakan rencana manusia? Siapakah yang bisa memutlakkan takdir semesta yang maha nisbi? Saat itu Rani layu, persis seperti kisah sekuncup mawar di halaman rumah. Tapi nyatanya ia tetap tumbuh sampai hari ini, dengan sekuncup ingatan yang seharusnya telah teremove dalam recycle bin.

Sejak acara inagurasi dan karantina seminggu saat itu, tak dapat dipungkiri jika keduanya menjadi akrab satu sama lain. Hingga percakapan-percakapan absurd yang terlanjur masuk ke dalam hati wanita kasmaran. Namun celakanya sang pria tak tahu risiko besar dari kalimat yang hinggap di telinga wanita ternyata langsung diteruskan ke hatinya tanpa quality control. Mereka belum sadar bahwa titik lemah wanita ada pada indera pendengarannya. Mereka lebih mudah jatuh hati oleh kata ketimbang terpukau oleh rupa. Maka beberapa lelaki yang tidak terstandar wajahnya dapat sedemikian beruntung sebab kualitas kalimatnya. Hingga kenangan berakhir pada setangkai edelweis yang ambigu, dan kemudian ia merasa kehilangan meski tak pernah ada ikrar ia memiliki.

Rani menajamkan penglihatannya, ia maju di bangku paling dekat dengan sosok tak asing di jangkauan matanya. Ia yakin dengan siapa yang dilihatnya, tapi logikanya memustahilkan pandangannya. Rasanya tidak mungkin lelaki itu ada di Malang, dengan siapa dan mengapa ia harus di Malang. Lalu mengapa ia ada di rumah sakit. Ribuan tanda tanya berputar mengitari otaknya. Ia tidak sedang mengantuk atau berhalusinasi, dan kesehatan matanya sejauh ini normal, tanpa pernah ada riwayat kelainan minus, silinder atau rabun jauh. Matanya sedetik pun tak lepas dari dua sosok yang tampak sangat dekat dan akrab, hingga lima menit kemudian sang perawat dengan sabar dan cekatan mendorong kusi rodanya menjauh, menaiki selasar menuju koridor tepi barat. Rani membuntuti dari kejauhan.

Rupanya mereka menuju klinik Voluntary Conselling and Testing. Rani membuka gawai pintarnya, ia tak buru-buru menyusul keduanya, sebab ia harus memastikan betul siapa yang dilihatnya. Sejenak ia tercenung pada uraian singkat setiap alamat artikel yang dibacanya. Tanda tanya di kepalanya membuat ia sakit kepala. Ia yakin betul dengan wajah yang dilihatnya, apalagi jika kaos yang dikenakannya betul seperti yang ia punya. Ia melangkah menuju petugas kesehatan di meja resepsionis.

“Selamat pagi mbak”

“Ada yang bisa saya bantu?”, sesosok wajah manis berkerudung putih ramah menyapanya.

“Mm..disini khusus pasien HIV Aids ya mbak?”, Rani ragu bertanya.

“Betul sekali Ibu, ada yang bisa saya bantu”, masih dengan senyum khas petugas frontliner.

“Mm..tidak ada, terimakasih ya mbak, suster”, tangan Rani gemetar, ia cepat memutar badan. Tapi beberapa langkah kemudian ia kembali.

“Mm.. suster apakah disini ada pasien yang bernama Damar?”, gugup ia menyebut nama yang tak pernah lagi ia sebut selama hampir dua puluh tahun. Suster menangkap gestur ragu-ragu tamunya.

“Saya cek dulu ya Bu”,

“Mm..maksud saya nama lengkapnya Marzul Anwar”, Rani meralat ucapannya.

“Sebentar ya Bu”, Suster yang terlihat masih seperti mahasiswa praktek lapang itu memeriksa lembar kerjanya.

“Marzul Anwar, 40 tahun ya Bu? Alamat Sawojajar Malang”,

“Mm..iya betul”, Rani ragu dengan alamat yang disebutkan.

“Apakah Ibu keluarga pasien?” “Atau ingin membesuk”

“Mm..oh kalo begitu saya tunggu kawan saya dulu ya Suster, saya ke depan dulu”, Rani beralasan.

“Baik Ibu”,

Dengan langkah seribu ia melangkah keluar, pikirannya berkecamuk dan bercabang. Ia segera kembali ke ruang dimana Husin dirawat, sampai tak sadar kantong palstik hitam yang dibawanya tertinggal di bangku taman di bawah pohon ketapang. Sang bapak telah menunggunya di depan gerbang. Ia bercerita bahwa belum ada kemajuan pada kondisi Husin. Yang kini lebih menguasai pikirannya adalah apa yang baru saja dilihatnya, antara kenyataan atau asumsi yang sedang dibenarkan perasaan.

Bapak malam ini menginap di rumah sakit bersamanya. Menjadi pendengar setia setiap yang terucap dari mulut putrinya. Semua yang terjadi diceritakan selama hampir sebulan ia menyewa kos dekat sekolah alam agar tetap dapat menunaikan kewajiban sekaligus menunggu waktu yang tepat untuk kembali atau selamanya pergi, kecuali pada satu hal cerita yang terluput. Ia tak ingin Bapaknya tertular gamang, bertambah cemasnya pada hal-hal yang tak siap diresponnya. Hingga akhirnya ia memilih untuk berpura tak mengindahkannya, memilih untuk tenang seperti tak terjadi sesuatu yang membuatnya bercabang fokus.

Namun karena ia terlampau penasaran pada sosok yang ia lihat kemarin, esok paginya ia datang kembali di tempat yang sama. Dan beruntung ia melihat pemandangan yang sama. Tapi kali ini ia mengumpulkan keberanian untuk menemukan kebenaran. Dengan kaki gemetar ia tetap melangkah, mendekati target.

“Selamat pagi Suster”, sontak keduanya menoleh pada sumber suara. Detik pertama ia bertatapan dengan senyum ramah khas petugas kesehatan, lantas dua sorot mata yang berbeda bertemu pada detik ketiga, lalu pecah di detik kelima oleh buah ketapang sekepal tangan balita jatuh di antara mereka.

“Rani?”, seketika bumi seolah menelannya dari permukaan.

Bersambung…

0

Bisik bising [28]

Hai Desember

Aku tau kau akan kembali

Di antara hujan yang merinai

Mengantarkan payung, menggandeng tanganku ke tepi

Membukakan pintu lalu menyeduhkan kopi

Panas mengepul, lalu tandas kuteguk dalam sekali

Tak banyak bicara, karena gesturmu cukup berbahasa dan kupahami sendiri

Lalu aku berhenti dengan asumsi

Positif, atau negatif, terserah naluri

Luka-luka akan sembuh pada waktunya, kecuali kau menyimpannya di hati

Cukuplah, biarlah kali ini

Aku kehujanan sesekali

Langit cukup menjadi saksi

Lalu membantu meluruhkan segala kenang pahit meski luka akan selamanya abadi

*****

Dinding kamar kusam sama seperti dulu beberapa tahun lalu saat semuanya hanya sebatas satu apa, belum beranjak menjadi sekian bagaimana. Saat ia meninggalkan satu tempat demi satu tempat lainnya, saat ia mencoba melukis mimpi bahkan saat kanvas pun belum ia punya. Si Pemilik rumah begitu gegap gempita menyongsong sosok yang pernah menjadi salah satu pengukir kenang di sebuah rumah berisikan kamar-kamar kost yang begitu karib satu sama lainnya.

“Saya menumpang tidur sementara ya Bu”,

“Untung ini masih sisa”, “Ohya dengr-dengar Dek Rani sudah menikah ya?”, Ibu-ibu berdaster dengan rol khas

“Sudah Bu”, “Tapi sedang LDR dulu”, sebelum ditanya banyak.

“Oh”, Ibu kost yang ramah itu enggan melanjutkan pertanyaan, khawatir membuat Rani tidak nyaman.

Seminggu ia tak fokus, menunggu kabar baik. Dari siapapun, entah Bapak, atau Husin. Dan penantian kali ini lebih lama dan lebih menyiksa. Sebab ia tahu siapa yang ia tunggu, tapi yang ia tunggu tidak diketahui secara pasti perihal kembalinya. Ia yang pergi, dan enggan kembali. Atau ia hanya pergi untuk dicari di kemudian hari. Rasa percaya memang telah ia bawa pergi jauh, namun kasih sayang tak pernah ia kemasi. Husin telah kehilangan kasih sayang sejak kecil, dan ia kembali kehilangan orang yang ia harap akan mengembalikan kasih sayang yang tak ia dapatkan. Rani iba, tapi sakit hatinya membuat ia trauma. Tak pernah ia bermain-main perihal hati, tak sekalipun ia beri hatinya pada satupun lelaki. Begitu ia percayakan utuh kepada seseorang, nyatanya ia mendapatkan pengkhianatan. Maka hati mana lagi yang mesti ia percayakan? Hati sekalinya pergi, meski yang berpunya tinggal dan bertahan, namun ia tak kan pernah kembali.

Hidup tak selalu luka, bahagia tak selalu berwujud tawa. Ada bahagia yang hadir setelah air mata membasuh luka, melapisi perih dengan indahnya rasa syukur setelah sabar sekian lama. Hari tak selalu gulita, setelah malam pekat fajar selalu menjelma. Bahkan semakin pekat malam, semakin dekat dengan cahaya. Lautan tak selamanya pasang, sebab bulan tak setiap malam purnama. Ia akan surut waktu sabitnya. Samudera tak setiap detik gelombang, ombak tak selalu datang, sebab jika ia senantiasa berombak tak akan ada nelayan mencari rizkinya dari sana, tak kan ada pelaut melintas benua demi benua. Bahagia, tidak selalu tentang baik-baik saja.

“Husin datang dan minta maaf kepada Bapak”, suara Bapak terdengar gamang di seberang telepon tadi pagi.

“Kemudian Bapak maafkan?”

“Tentu saja Bapak maafkan, tapi aku minta dia supaya meminta maaf padamu secara langsung”,

Rani teringat pesan singkat dari Husin beberapa jam lalu yang sengaja ia abaikan. Tak tahu lagi harus memberikan maaf atau memberikan hati, sekali lagi. Ia butuh waktu berbenah, mengumpulkan kepingan hatinya yang terserak. Entah sebentar atau harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk kembali baik-baik saja. Bahagia kini seperti terdengar absurd, tak nyata.

“Tuhan Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Tapi aku Maha lemah, tolong beri waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri”,

Segalanya telah terjadi, dan telah menjadi bagian perjalanan yang harus dilalui, suka ataupun tidak. Tuhan menciptakan manusia dari tanah, netral. Tidak sama dengan malaikat yang tercipta dari cahaya, sekalipun tak pernah salah. Juga berbeda dengan iblis yang tercipta dari api, panas oleh nafsu dan selamanya tersalah. Manusia bisa cenderung selalu berbuat baik serta beribadah sepanjang hari, tapi ia pun bisa dibawa pergi nafsu sampai ke lembah yang paling bawah. Siapa yang dapat menjangkau bahwa kesungguhan penyesalannya hari ini tidak memunculkan hal ceroboh yang sama untuk kedua kali.

Rumah tak lagi bernyawa, sebab jantungnya pergi meninggalkan raga. Tak ada lagi alarm hidup yang membangunkan saat kolaborasi fajar dan kokok ayam tak cukup berguna untuk memekakkan telinganya. Rumah kehilangan ruhnya, sebab paru-parunya berhenti menghirup nyaman udara. Rumah yang dulu ia upayakan agar dapat menghuninya dengan bahagia, bersama keluarga tercinta kini ditinggalkan penghuninya, pemilik hati yang telah dipilihnya.

Dapur yang berbau masakan setiap pagi dan sore. Kamar mandi yang cepat kehabisan air karena durasi mandi Rani yang tiada lawannya. Lemari Kamar yang bersih dari skin care, sebab Rani memang tidak gemar bersolek.

“Tumben, pake masker”, Husin menggoda isterinya, jarangkali.

“Supaya bisa tampil glowing seperti kawan pendakian kamu”, ia tahu yang dimaksud adalah Dinda dan Dewi, sejak Rani mengenal mereka naluri keperempuanan tetiba muncul. Barangkali, ia cemburu. Sayangnya, Husin baru menyadari setelah semua kesadaran itu datang dengan sangat terlambat.

Ia ingin menunjukkan penyesalan namun Rani sudah memilih pergi. Ia datang ke kampung hanya demi dapat mencium tangan Bapak agar memberikan kesempatan kedua kepada seseorang yang dulu pernah meminta hati anak yang kini telah disakitinya. Dan kali ini i’tikad baiknya ia upayakan agar dapat meminta hati istrinya, sekali lagi.

Di kamarnya, kamar ia dan istrinya, ia menengadah tak tahu mencari apa, tak tahu apa yang ditunggu, tak tahu apa yang sedang dipikirkan. Kosong, sekosong kamarnya, dapurnya, kamar mandinya, ruang televisinya, karpet merah marunnya, dan hatinya. Entah dengan apa ia harus menebus kesalahannya. Sementara karma selalu melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ia takut akan bertemu dengan karmanya, telah mengkhianati kepercayaan seorang yang setia hidupnya, jujur nan polos lakunya. Sebab itulah dengan mudahnya ia mampu bermain api di belakangnya. Ia ingat, istrinya itu tidak pernah sama sekali mengganti nomor ponsel sejak dua puluh tahun lamanya. Betapa itu sebuah kesetiaan sederhana yang teramat berharga. Pun ia ingat bahwa Rani selalu memilih perabot yang sama jika suatu ketika perabot rumah rusak atau pecah entah oleh dia sendiri atau olehnya. Betapa pola itu seharusnya membuat ia sadar, bahwa wanita di sampingnya adalah seseorang yang begitu tinggi loyalitasnya pada apa yang telah ia pilih. Maka di usia matangnya kemudian ia bertemu dengan dirinya, seharusnya membuat ia bersyukur kepada semesta telah mempertemukan mereka berdua. Tapi ia telah terlanjur melukainya, melukai kepercayaannya. Sementara kata maaf bukanlah obat bagi cacatnya kepercayaan, waktu pun belum mampu membuktikan bahwa hilangnya kepercayaan dapat kembali dalam bilangan tahun bahkan milenia.

Rani sangat menghargai kesetiaan, karena ia begitu kokoh memegang pendiriannya pada sebuah pilihan. Maka ia takut jika hukuman baginya adalah ketidaksediaan istrinya menemani hidupnya, lagi. Ada trauma yang masih belum pulih kala Ayahnya meninggalkan ibunya dahulu. Meskipun ia masih belum memahami kehidupan pada saat itu, tapi ia kecewa bahwa Ayahnya tidak ada di sisinya saat seharusnya tangan Ayahnya yang paling banyak mengajarkan padanya keberanian dan kebijaksanaan. Ia iri melihat kawan-kawannya berbangga hati menampilkan sosok ayahnya di sisi, sementara yang bisa ia ceritakan adalah ibunya, saja. Dan semenjak ibunya menikah lagi, tak ada cerita sehangat dahulu, dan ia kehilangan banyak dari apa yang seharusnya ia dapatkan di masa kanak-kanaknya. Ia sangat tak ingin fase kehidupan itu berulang sekali lagi di masa depannya. Tapi semua telah terjadi, tanpa ia pernah berpikir akan sefatal ini.

Dinda telah sebulan belakangan menghilang, dengan jejak yang sebenarnya ia tahu dimana. Namun, semestinya istrinya lah yang harus ia kejar untuk kembali ke rumahnya, bukan Dinda. Dinda hanyalah pihak ketiga, Dinda bukan inti kehidupannya. Dia hanya pemeran cadangan yang hampir mengganti peran utama secara keseluruhan adegan. Tapi ia tahu itu tak.akan terjadi jika bukan ia yang menginginkan. Sebagai suami ia telah hampir gagal, dan sudah gagal. Dan sebagai seorang penyeleweng ia pun gagal memenangkan pemeran baru dalam hidupnya. Keluarganya Taka dan yang betul-betul peduli, kawan-kawannya beberapa peduli, tapi siapa yang peduli jika empati mereka hanya sebatas rasa ingin tahu kehidupan pribadinya untuk bahan bakar gosip dan penyulut ramainya pergunjingan di kampus.

Hampa harapannya, seandainya betul ia kehilangan masa lalu dan masa depannya. Tak ada guna pencapaian karirnya, dan upaya-upaya yang telah ia perjuangkan demi hidup yang ia citakan. Nafsu diri menutup segala fitrah yang membimbingnya memilih mana yang Haq dan yang batil. Membuatnya longgar pada toleransi yang seharusnya berbatas. Tapi nasi memang telah menjadi bubur. Ia gagal membentengi diri, dan membiarkan orang lain menerabas masuk terlalu jauh. Sedangkan ia pemilih pertahanan membiarkan semuanya berjalan begitu saja. Dan saat semua berubah bentuk, barulah ia menyadari bukan ia sendiri yang berubah, namun segala hal yang bergantung padanya telah kehilangan sandaran.

Barang-barang istrinya masih menghuni lemari, rak buku, keranjang baju dan meja. Waktu seperti berjalan mundur, seolah men-trigger semua kenangan yang pernah tercipta, silih berganti datang. Jarum jam seakan terasa lebih lambat dari biasanya, satu jam hingga lima jam tak ada balasan dari istrinya. Tak peduli ia pada perut kosongnya yang sejak kemarin belum terisi makanan. Siapa yang peduli, bahkan dirinya saja pun tak mampu mengendalikan tubuhnya sendiri. Ego yang belum sepenuhnya mendewasa, mengasuh pribadinya hingga tumbuh prematur. Seperti seorang anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, masih membutuhkan tangan lain untuk rela membelai rambutnya dan memaklumi kesalahannya tanpa pamrih. Karena ia kehilangan itu semua di masa kanak-kanaknya.

Asap rokok mengepul hingga batang terakhir di bungkus berwarna biru berilustrasikan gambar satir akibat buruk merokok. Manusia memang kerap tak mengindahkan aturan sebelum aturan itu memaksanya tak berkutik pada sebab-akibat yang terjadi. Dulu, Rani tak pernah bosan mengingatkan agar ia mengurangi intensitas merokoknya. Tapi ia lebih senang berdalih, membiarkan ocehan istrinya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Melakukan pembiaran tanpa perlu memasukkan ke dalam hati. Memang tak menghentikan frekuensi ocehannya, cukup membuat tidak nyaman di telinga, namun setidaknya itu tidak menggangu hatinya atau bahkan mengurangi seleranya terhadap nikotin.

Tembakau yang diisapnya malam itu terasa pahit, lebih pahit dari biasanya. Luruh semua kenang dalam kepulan asap yang pecah di udara yang beku, mengurai setiap partikel menjadi nano dan menyatu dengan sublimasi udara. Bunga mawar kuncup beberapa, merindukan tangan yang setiap sore menyirami dengan monolog-monolog singkat tak bejawab, hanya ditangkap dedaun yang seperti punya telinga, meresap dalam celah-celah stomata, merasuki batang-batang berduri, lalu melesak kedalam akar rapuh di atas gundukan tanah ber-pot plastik berwarna hijau. Andaikata ia mampu menanggapi monolog Puan-nya, ia mungkin akan tersenyum manis berterima kasih pada tangan coklat sawo matang yang setiap hari mengasuhnya, menyapa layaknya anak kandungnya. Beberapa hari belakangan, daun-daun itu layu, berkurang derajat kesegaran, dan beberapa helai mulai menguning hampir tanggal dari batang, sementara kuncup-kuncupnya layu sebelum berkembang.

Kantuk menyerangnya, namun ia enggan menutup mata, sebab mimpi-mimpi buruk selalu bergilir layaknya putaran rekaman kenang pahit masa silam diputar ulang berulangkali di kepalanya. Tiga bungkus rokok andil dalam insomnia yang belum pernah ia rasa. Matanya perih, mulutnya asam, kepalanya berdenyut-denyut, perutnya mendengungkan suara, hatinya ngilu.

Barangkali ini adalah depresi terberat dalam hidupnya. Lunglai logika berpikirnya, seumur-umur tak pernah ia jatuh karena wanita, tapi sekalinya ia jatuh, ia jatuh begitu dalam, ditinggalkan karena meninggalkan. Karma barangkali sudah terbayar. Dosa-dosa yang tertuai adalah balasan terbaik dari Tuhan sebelum panas adzab menghabisinya habis-habisan. Ia pingsan, sementara puntung rokok yang masih tersulut membarakan arangnya dan terluput dari selip jarinya. Jatuh dan menimpa onggokan tissue di bawah kaki meja.

Ketakutan demi ketakutan yang mengendap dalam otak kecilnya menguasai alam bawah sadarnya, menjerumuskan kegelisahan paling gundah di paling nurani kemanusiaan terdalam. Menyesali diri dan merutuki segala hal yang berlalu di masa silam, melahirkan kekhawatiran tak bernama akan masa depan yang ditinggalkan sandaran hatinya.

Hampir pukul tiga pagi ketika beberapa anak muda menemukan kobaran api di rumah bercat biru dengan pintu pagar rumah yang sedikit terbuka. Beberapa anak muda yang kebetulan lewat sigap masuk di halaman sempit di meja kursi yang terbakar dan membalut tubuh tambun tak sadarkan diri. Keran air di samping bunga mawar berhasil membantu memadamkan api yang beruntungnya belum merambat masuk ke dalam rumah, cat pintu mengelupas berganti hitam arang basah oleh siraman sigap para penolongnya.

Pagi itu Husin menjadi satu dari sekian pesakitan dalam ruang gawat darurat. Waktu berjalan mendekati batas titik kematian yang akan sampai tak lama atau berhenti menerima penangguhan Tuhan. Para pemuda itu menghubungi sebuah kontak terakhir yang tertera di ruang panggilan dan pesan gawai yang masih dapat terselamatkan di kantong kemeja Husin. Kakinya mengalami luka bakar cukup serius dengan kondisi kesadaran yang belum stabil.

Rani terlonjak seketika saat nomor asing menghubunginya memberikan kabar tentang kecelakaan suaminya. Suaminya yang mencelakakan hatinya, suami yang seharusnya menerima empati dan taatnya sebagai seorang istri. Ia segera berbenah diri, tanpa berpamit pada siapapun ia meluncur pada lokasi yang diinformasikan oleh seseorang yang mengaku tetangga Husin.

Hanya satu yang muncul dalam benak Rani, semoga Tuhan berkenan memaafkan Husin dan memaafkan dirinya, atas hal-hal tak dewasa yang ia anggap sebuah bijaksana. Sambil menghubungi Bapak yang juga terkaget dengan kabar yang teramat heroik, dan memutuskan segera menyusul ke rumah sakit. Di hati kecilnya kini, sedang berlangsung dialog nurani dengan Tuhan akan nasib seseorang untuk berhasil mendapatkan ampunan.

Air matanya bercucuran, membasahi pipinya. Turun ke dalam hatinya, membersihkan kesumat yang ia timbun hingga mengendapkan kebencian pada semua macam lelaki. Pada sepenggal pengalaman yang telah ia lalui, ada sebuah stalaktit trauma yang menutup sebagian pintu hatinya untuk tak lagi mempersilahkan manusia mencampuri hidupnya dengan cinta.

Rani, ia telah sepatah itu.

Bersambung…

0

Bisik bising [27]

Kopiku asin
Sore kemarin
Sebab kuseduh ia dengan air mata

Sejak kau tiada
Sisa hidupku kini adalah coretan tentang sebuah kehilangan
Yang akan menghabiskan seluruh bab kehidupan
Di pusara sebuah nama yang hanya ada dalam kenangan

Dalam hidup, aku tidak pernah takut sendiri
Sampai akhirnya kau pergi
Aku harus merayakan ketakutanku setiap hari

Sia-sia melupakan
Sebab memang, kepalamu tak akan pernah bisa melupakan
Apa yang telah hatimu ingat

Tanpamu, seberapapun pedihnya
Aku akan belajar, untuk tetap baik-baik saja

Bogor, 13 September 2019

*****

“Dinda, saya ingin ketemu kamu hari ini, tanpa suami saya. Tak perlu khawatir, ini bukan tentang dia, ini tentang kita”,

Dinda serba salah, ia bingung, tak tahu harus berbuat apa. Meskipun ia sadar telah menjadi duri untuk seseorang yang ia cintai dan orang yang mencintai orang yang ia cintai. Ia sadar bahwa ia telah berbuat salah, meskipun sampai kapan pun cinta tak akan pernah salah, hanya kenapa ia datang pada orang dan waktu yang tak tepat. Untuk lari percuma, karena semua tempat jelas punya hukuman untuk orang yang bersalah. Tapi untuk tetap berada di antara mereka justru akan semakin memperuncing masalah.

Tak ada yang betul-betul rahasia di dunia ini, sebab apa-apa yang disembunyikan hati dapat terbaca dari raut muka. Kejujuran tampak dari sorot mata, tapi kebohongan bahkan lebih jujur dari tatap mata yang kalah oleh gestur kaku dan ritme bicara. Tuhan memang tak akan pernah membiarkan kebenaran disembunyikan di bawah ketiak kedustaan. Semua yang janggal di hati akan muncul sebagai rasa ganjil yang mengganggu nurani. Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pastilah akan terendus jua, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh jua.

“Saya sudah tahu semua hal tentang kalian”, ada yang meletup-letup di dadanya, namun sedapat mungkin ia tahan agar tak berhamburan selayaknya lava yang terburai dari magma amarah yang bergejolak di jiwa.

Dinda menunduk, antara malu dan marah pada keadaan.

“Kamu salah Dinda, tap..”, kalimatnya terpotong oleh suara penuh penyesalan.

“Maafkan saya”, rasa takutnya mengalahkan rasa sedihnya, ada yang menggenang di sudut matanya.

“Tapi suami saya juga bersalah, mungkin ada andil kesalahan saya juga di antara kalian”,

Dinda semakin terpuruk, rasa bersalahnya menggelinding semakin besar bak bola salju. Air matanya kalah oleh air keringatnya.

“Semua telah terjadi, kita tidak akan bisa mengendalikan hal yang telah berlalu, tapi setidaknya kita bisa menata harapan ke depan”, “Kamu menginginkan suami saya?”, Rani lekat menatap perempuan di hadapannya, yang cantik namun belum cukup stabil mengendalikan dirinya.

“Jawabanmu, akan sangat menentukan keputusan saya ke depan. Jadi mohon jawab pertanyaan saya”,

Dinda menggeleng, meskipun penuh perjuangan ia melawan egonya.

“Kamu yakin?”, “Kita tidak mungkin membangun rumah di lahan yang sama, kecuali salah satu dari kita harus rela pergi”,

“Saya”, tangis Dinda pecah, kepalanya tertelungkup di meja kayu artistik sederhana di hadapan mereka, beruntung tempatnya di sudut ruangan tak terlalu banyak pengunjung berlalu-lalang, meski ada beberapa yang mengawasi gerak-gerik mereka.

“Selesaikan tangismu, kita sama-sama perempuan, yang mengerti bahwa semua keputusan kita awalnya adalah murni perasaan”, Dinda tak sanggup berkata-kata setiap mendengar kelanjutan kalimat wanita di hadapannya.

“Mbak, maafkan saya”, sedetik kemudian tangannya meraih jemari Rani meskipun wajahnya belum lepas dari pelukan meja. Rani membiarkan alur skenarionya berjalan apa adanya, entah drama atau sesungguhnya, tapi ia tak ingin segala keputusannya kelak meninggalkan cacat di hati dan luka menganga tak terobati. Ia tak membalas genggaman tangan Dinda, ia benar marah, tapi ia tak mau kemarahannya semakin memperburuk suasana. Beruntung keduanya bertemu di ruang publik, lain cerita jika keduanya menyelesaikan masalah di tempat tertutup, ceritanya mungkin akan jauh berbeda.

“Menurutmu, siapa yang seharusnya pergi? Kamu atau saya?”, Rani sengaja mengakhirkan dirinya, sebab setengah keputusannya ada dalam kata terakhirnya.

“Maafkan saya, Mbak”, Dinda masih memohon.

“Minta maaflah pada Tuhan”, pelan Dinda melepaskan genggaman tangannya, mengusap air matanya perlahan dengan ujung kerudungnya, menyeka air yang keluar dari hidungnya.

“Mas, saya dan Dinda menunggumu, tapi kamu lama jadi aku pergi duluan. Oh ya, selamat tinggal ya”, pesan terkirim, dua detik kemudian gawai di kantong celana Husin bergetar kecil, tanda pesan masuk.

Husin melihat dari kejauhan, tepatnya dari seberang kafe ia biasa mengerjakan tugas kampus, terlihat dua wanita yang telah dan akan menentukan jalan cerita kehidupannya. Ia pun tak tahu harus bagaimana, ia cukup paham karakter Rani, namun untuk hal berkaitan dengan rumah tangganya bisa jadi keputusannya akan berbeda dengan pola pengambilan keputusannya selama ini.

Ia tak ingin menebak ending-nya, sebab mengawali akhir cerita dengan prasangka hanyalah akan memuluskan prasangka-prasangka itu terjadi. Apa yang menguasai pikiran dan perasaan, akan memaksa kenyataan patuh pada bingkai petunjuk yang mempola keyakinan. Terkadang memang manusia dikuasai nafsu, tak melihat aturan dalam berperilaku, tapi pada segala hal yang berlaku akan tetap ada konsekuensi.

Ia melihat nama istrinya melintas dalam notifikasi aplikasi pesan singkatnya. Tak berani ia membuka, perlu ia kumpulkan keberanian untuk mengetahui apa yang dikatakan Rani untuknya. Ia memesan secangkir kopi keduanya. Melarutkan segala kenegatifan diri, mengendapkan amuk amarah rasa, mengumpulkan segenap keberanian untuk melangkah sesudahnya. Ia tambah penat, makin sakit kepala, asam lambungnya mendadak naik. Buru-buru ia meninggalkan meja mencari toilet.

Tumpah seluruh isi perutnya, kopi satu setengah cangkir, yang setengahnya masih belum tandas di cangkir keduanya. Husin memang beriwayat penyakit lambung akut, sudah jarang kambuh karena empat tahun ke belakang pola makannya sudah mulai membaik semenjak ia hidup bersama Rani, sekali lagi, semenjak ia hidup bersama Rani. Semenjak ada yang tak pernah absen menyiapkan sarapan untuknya pagi buta, bahkan sebelum adzan shubuh berkumandang, meski ia masih terlelap, sedangkan istrinya harus berangkat ke sekolah tempat ia mengajar sebelum pukul tujuh, tapi seingat yang ia bisa ingat tak pernah sekalipun istrinya melewatkan absen menyiapkan sarapan untuknya. Pun begitu dengan pola makan malamnya yang selalu tak pernah ia lewatkan sebab istrinya akan ngambek berhari-hari jika masakan sorenya tak disentuh sama sekali. Makan siang memang kerap jarang terlewat sebab ia merasa lebih bersemangat jika makan siang bersama rekan kerja di kantor, atau bersama mahasiswi, tepatnya mahasiswi yang selalu tertawa dengan canda-canda garingnya, siapa lagi jika bukan Dinda, si gadis manis berlesung pipi dengan pipi tirus berkacamata bulat penuh.

Hatinya berada di persimpangan. Ternyata Rani yang selama ini Tuhan kirim untuk membantu menjaga kesehatannya, sementara ia selama belasan tahun abai semenjak ibunya tiada. Dan Dinda, apa istimewanya wanita itu hingga mampu menggeser posisi yang seharusnya milik istrinya. Jika mengingat kedua wanita itu, asam lambungnya kembali naik ke tenggorokan, meninggalkan rasa pahit di lidah.

Di tempat berbeda, seorang wanita muda memandangi trotoar dengan tapak-tapak kaki yang hilir mudik. Nanar tatapannya, seperti di ambang angin. Dekapan pada tas di pangkuannya tak lagi erat, duduk membungkuk seolah tulang belulangnya kehabisan daya untuk tetap bisa tegak. Panas terik tak seterik masalah yang kini ia hadapi. Jika masalah ini terbongkar disini, bukan hanya ia saja yang malu, namun ia akan terancam drop out dari kampus begitu pun Husin, karena betapapun ditutupi ia justeru akan semakin khawatir jika terus menyembunyikan. Hati kecilnya tetap ada penyesalan mendalam. Jika betul sampai ia bertemu dengan karmanya, ia akan kehilangan segalanya. Dan praktis, ia akan kehilangan masa depan dan mengkhianati kepercayaan Ayah ibunya. Ia menyesal setengah mati.

Sedang radius sekian kilometer dari tempat ia duduk, seorang wanita berjalan gontai di jalan setapak melewati musholla yang tampak sepi. Kehidupan telah mengajarinya banyak hal. Bahwa memang sejatinya bukan kebahagiaan saja yang harus selalu disyukuri, namun segala ke”tak-bahagia”an mungkin Tuhan datangkan sebagai pembeda rasa jika kelak ia bertemu dengan bahagia yang sesungguhnya. Tak ada yang kekal, kecuali Tuhan dan ketidakkekalan itu sendiri.

Dibukanya pintu pagar perlahan, sembahyang ashar yang biasa ia kerjakan selesai memasak sore untuk suaminya, ia awalkan. Tak ada air mata, tapi kesedihan begitu dalam ia rasakan hingga tak tahu dimana dasarnya. Ia tetap memasak namun tak bersemangat seperti hari-hari sebelumnya.

Entah ia membuat makanan untuk siapa, padahal ia telah mengucap selamat tinggal pada suaminya. Seusai memasak, ia termenung di depan lemari plastik bergambar karakter kartun kesukaan suaminya. Di tangannya, sebuah tas koper berwarna hitam ukuran satu kali setengah meter terbuka pengaitnya. Ia masih menunggu, namun apa yang sebenarnya tengah ia tunggu, sedang ia telah mengucap selamat tinggal. Akankah adegan manis layaknya di sinetron akan merubah akhir cerita menjadi manis pula, ia tak berharap. Untuk saat ini ia hanya butuh sendiri, merenung sepenuh hati apakah ia akan benar-benar pergi ataukah tetap bertahan disini.

Puisi-puisi tentang kehilangan yang menghiasi beranda akunnya milik kawan-kawan Aksara betul-betul menjadi soundtrack cerita hari ini. Ia sudah lama pasif meramaikan akun itu, namun belakangan ia butuh writing for healing untuk masalahnya. Cukup membantu, tapi beberapa kawan justru kepo cenderung curiga. Akhirnya ia memilih masuk kembali ke dalam gua masalahnya.

Dikemasi beberapa potong pakaiannya, mungkin tiga hari akan cukup memantapkan hati untuk segera mengambil keputusan terbaik, untuknya dan untuk Husin, juga untuk Bapaknya yang sejak pertama kali ia tertimpa masalah menjadi satu-satunya telinga yang menampung apa saja yang dibuang putrinya itu.

Semua penggalan-penggalan peristiwa berkelebat dalam benaknya, kehilangan Damar yang tak tahu kemana rimbanya, kehilangan Bayu untuk selamanya, perpisahan dengan sahabat-sahabat terbaiknya Aida, Jaka, Fatur dan Gilang. Pertemuan sebentar dengan Nisa, Sahrul, Adi dan Rakim. Dan Rakim, adalah orang yang sangat andil dalam perjumpaannya dengan Husin. Ia lebih kerap ditinggalkan, lantas kali ini apakah ia yang harus meninggalkan. Bukankah Husin yang terlebih dahulu meninggalkan.

Kini ia betul yakin, bahwa satu-satunya yang tak akan pernah meninggalkannya hanyalah Dia, Tuhan yang Maha Satu.

Masakan telah tersaji di meja makan kecil, dengan dua kursi plastik di sampingnya. Tak ada balasan pesan singkat dari suaminya, dan ia tak juga berharap balasan darinya. Ia harus pulang, mengisi jiwanya kembali dengan nasihat ayahnya, mengisi penuh ruang keyakinannya pada Tuhan, dan menata ulang kepercayaan serta keihklasan yang telah berkeping berantakan.

Usianya tak lagi muda, tapi ia masih punya kesempatan untuk hidup lebih baik dan lebih bahagia. Tuhan masih memberikan kesempatan, untuk tetap menumbuhkan harapan.

Semua kisah tentang kehilangan selalu berakhir menyedihkan, namun kesudahan yang baik akan diperoleh bagi mereka yang ikhlas merelakan. Rani memang tak pernah betul-betul rela, tapi ia masih punya waktu untuk belajar rela.

Husin sama sekali tak menemui Dinda, ia tak siap dengan segala yang akan ia dengar tentang istrinya, tepatnya antara istrinya dan kekasih gelapnya. Tuhan sedang menguji ummatNya, namun sebagian besar mereka mengerjakan dengan cukup payah. Tuhan sedang mengajari ummatNya, bahwa hidup yang datar jalannya tak akan memberi makna apa-apa. Ujian akan membuat ummatNya naik peringkat, naik kasta. Ujian akan mengangkat peri kehidupan manusia, ujian memberikan kita jeda, setelah berlari sekencang mungkin tetap sejeda dua jeda ia mesti berhenti sejenak untuk merenung, bahwa jalan yang akan ia lalui tak semua semulus yang ia sangka. Ujian diciptakan untuk membuat manusia belajar menyelesaikan hambatan kehidupan.

Hidup cepat sekali berubah, jarak antara kesedihan dan kebahagiaan begitu tipis setipis antara dermis dan epidermis, tidak konstan, begitu nisbi. Kadang begitulah jarak antara kehidupan dan kematian.

Husin tak akan pulang, sebab ia lebih tenang memecah masalah di keheningan dalam sendiri. Berbeda dengan Rani, yang lebih banyak akan bertutur lalu mengumpulkan saran-saran guna mengenyahkan segala asumsi yang keseluruhannya telah berubah negatif. Husin tak akan peduli dengan pendapat keluarganya, sebab jangankan dikala sakitnya ia mengadu, dikala sehatnya pun rasa peduli sedikit sekali.

Sedang Rani, betapapun telinga akan panas setelahnya akibat gunjingan tetangga, maka bilik rumahnya tetap tempat ternyaman untuk mengendapkan segala gundah lantas mengeliminirnya selapis demi selapis dengan siraman rohani dari Bapak setiap hari. Watak manusia, sangat betul dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tertanam sejak masa kecilnya, oleh dua orang terdekatnya, yaitu Ibu-bapaknya.

“Pak, aku butuh waktu sendiri sendiri dulu”, saat Rani berbincang dengan lelaki yang bahkan jauh lebih terluka saat mengetahui anaknya tengah terluka.

“Jangan lupa diri, kamu punya Tuhan”, sedikit kekhawatiran lelaki itu, lantaran ia percaya bahwa putrinya itu telah dewasa, meskipun di matanya ia masihlah Rani yang dulu selalu menangis kencang saat terjatuh dari sepeda, memanggil keras Bapaknya dengan sepeda merah usang yang diseret-seret paksa.

“Bapak akan telepon Husin nanti”,

“Tidak usah Pak, biarkan dia saja yang kemari atas kemauannya sendiri. Bagaimanapun tetap tidak baik memaksakan, meskipun aku akan tetap berupaya bertahan”,

“Dia sudah dewasa, aku juga bukan anak kecil lagi. Bapak doakan saja yang terbaik untuk kami”, Rani mulai merefleksi diri, mengurai benang kusut di pikirannya, dan meletakkan batu ganjalan besar di hatinya.

“Yang sabar, tak usah bersikap egois seperti itu. Bapak tahu masalahmu berat, tapi kita akan selesaikan. Tidak ada rumah tangga yang tidak bermasalah, semua ada masalahnya masing-masing. Kalo kamu melihat dulu Bapak dengan almarhum Ibumu seperti tentram-tentram saja, itu hanya karena kami tidak pernah menunjukkan kepadamu”,

Tiba-tiba Rani begitu rindu pada mendiang ibunya. Di saat seperti ini ia ingin menangis di pangkuan wanita terkasihnya, sepuasnya. Sama seperti dahulu ia ditinggal Bayu, meminta ibunya mengirimkan energi kepadanya yang kala itu hilang arah dan harapan. Ibunya adalah separuh dirinya yang kini hanya berwujud kepingan hati dan rekaman kenangan yang tak pernah berhenti ia putar dalam hidupnya. Dengan sisa kekuatan ia bangun harapan agar ia tetap baik-baik saja dengan hati yang tak lagi utuh, mengikhlaskan takdir yang merampas sebab bahagianya. Bertahun ia berupaya bangkit, berserah pada Tuhan, memasrahkan diri pada alur kehidupan yang dibuat Tuhan, melanjutkan hidup dengan sisa pengharapan. Kali kedua, ia patah, jatuh dan retak. Bukan lagi ia kehilangan Husin, tapi ia telah kehilangan rasa percaya. Ia akan tetap berdiri, dengan luka yang entah bisa sembuh kembali.

Ia ingin pergi jauh, dimana tak ada sesiapa yang mengenal, agar kenangan yang tertinggal benar-benar tertinggal bersama masa lalu yang berganti masa depan, itupun jika ia bisa untuk melupakan. Meski ia sadar, ia tak akan pernah bisa melupakan apa yang telah hatinya ingat. Usah lagi mengingati bahwa ia sedang mendamba kehamilan, menantikan buah cintanya dengan suaminya itu. Untuk apa ia berjerih upaya keluar masuk rumah sakit seorang diri, membiarkan rahimnya dijamah obat-obatan dan suntik hormon. Bahkan saat suaminya pun tak sudi membersamai segala ikhtiarnya. Benci ia mengingati bahwa bukan ia saja yang menadahi sperma suaminya, tapi ada juga yang senang hati meminta bagian kehangatan suaminya. Jijik pun kesal, bahwa saat ia merasa melayang diterbangkan khayal saat bersama suaminya, ada juga permainan lain yang mungkin lebih hebat ia ciptakan demi memuaskan birahinya. Sungguh jika mau ia sumpahi saja supaya suaminya dijangkiti penyakit ganas supaya jera, supaya ia dapat memiliki alasan untuk mengurungkan niat tetap bertahan.

“Bapak akan ke Malang menemui dia”,

“Tidak usah Pak. Jika dia memang mau mempertahankan, dia akan datang sendiri”,

Malam itu, hampir Rani tak bangun dari sajadahnya. Selepas Isya ia mencari kitab Al-Qur’an di rak buku kusam penuh goresan dan coretan pensil masa kecilnya. Kitab tebal yang halaman depannya telah terlepas dari benang pengaitnya beberapa lembar, menyembul keluar di bawah sampul tebal karton dengan permukaan glossy biru tua. Halamannya usang, di sela-selanya tersisa coretan tanda batas mengaji harian ketika dulu ia masih talaqqi dengan guru mengaji favoritnya. Saat ia buka satu lembar halaman tak utuh itu, menyeruak wangi kenangan masa lalu indah zaman kanak-kanaknya, ada yang membuncah di hatinya, mendesakkan air mata. Ia rindu masa kecilnya, rindu kehidupan tanpa beban. Ia rindu sore di belakang rumah sembari melantun kidung, ditemani semilir angin sawah. Ia rindu klasikal bersama guru mengaji favoritnya di surau.

Tapi, hidup harus tetap berjalan, bersama beban yang semakin tak ringan.

Di hidupnya yang mendekati setengah abad, ia seolah semakin berantakan. Ibarat gelas yang terserak bersatu kembali, ia kembali hancur lagi. Mudah untuk memaafkan, namun sulit untuk melupakan.

Rasa percaya hanya dibangun sekali, begitu roboh jikapun ia kembali berdiri, tak akan bisa kembali seperti sedia kala. Sekalipun mampu berdiri, ada cacat yang berprasasti.

“Han, ada kamar kost kosong?”, Rani menghubungi Hani, melalui gawainya, lima menit setelah ia menyelesaikan maqra’ terakhirnya.

“Tempo hari ada kosong dua kamar, tapi aku belum memastikan ke Ibu penjaga kos, mudah-mudahan masih kosong. Buat siapa?”, Hani memastikan. Semenjak beberapa bulan lalu Hani yang sudah lama tak terdengar kabarnya tiba-tiba mengabari bahwa dirinya pindah ke rumah kosong bertuliskan plang “dijual” di pagarnya, dekat bekas kost mereka dahulu.

“Buat aku”, singkat Rani menjawab.

“Buat kamu? Serius deh

“Iya buat aku, kost kita dulu kan dekat tempat mengajarku”

“Rani…”,

“Kenapa?”

“Kamu tidak sedang ada masalah dengan suamimu kan?”, wanita beranak dua yang masih menjaga hubungan baik dengan Rani selama dua puluh tahun itu terdengar penasaran.

“Memangnya kenapa kalo ada masalah?”,

“Biasanya kamu cerita”,

Hmm, kali ini tidak ya. Kalo sudah selesai masalahku baru aku akan cerita. Setidaknya aku ingin menenangkan diri untuk saat ini”,

“Rani semangat ya, bersabar lebih banyak, aku mengenalmu bahkan lebih kuat dari dugaanku”,

“Iya, iya, doakan aku ya sayang…”

Of course“,

Begitu sambungan telepon diputus, Rani mengambil tas koper dan memasukkan beberapa potong pakaian. Berkemas sekilat mungkin, karena malam ini dia harus memastikan kamar kosong di bekas kost sewaan-nya dahulu. Bapak memperhatikan dari ruang tamu, dengan asumsi terbaik bahwa anak perempuannya itu akan semakin dewasa diasuh kehidupan.

Bersambung…

0

Bisik bising [26]

Betapa bahagianya Husin ketika mendapati istrinya tengah mengandung benihnya. Beku sikapnya berubah drastis berganti kehangatan. Dikecupnya kening istrinya, dipeluknya tubuh istrinya lama, dengan air mata kebahagiaan yang meluap-luap. Kebahagiaannya melebihi kebahagiaan saat Husin pertama kali menyambut tangannya setelah akad.

Hidup memang adalah kumpulan cuplikan episode menunggu. Sembilan bulan menunggu dilahirkan, enam bulan menunggu dilumatkan makanan, setahun menunggu langkah pertama. Enam tahun menunggu di bangku sekolah dasar, enam tahun menunggu sekolah lanjutan, sampai akhirnya kuliah dan menunggu jodoh. Menunggu dianugerahi bayi, dan melanjutkan masa menunggu dan menapaki fase hidup selanjutnya. Siang menunggu malam, malam menanti siang, dengan penggalan-penggalan kisah yang menjadi skenario perjalanan hidup manusia.

Rani mengerjap-mengerjapkan matanya, ia sedikit linglung antara pagi siang sore atau malam. Lampu kamar yang menyala terang menyadarkan dirinya bahwa ia sempat tertidur selepas Maghrib tadi. Perutnya berbunyi, dan ia menyadari bahwa apa yang baru saja dialaminya hanyalah sebuah mimpi. Ia kecewa di alam nyata. Belum tampak kedatangan suaminya, biasanya lampu depan dipadamkan jika suaminya sudah pulang, namun ini masih tampak terang bahkan pintu rumah yang biasanya selepas shalat Isya ia kunci, terlewat begitu saja, untungnya ia tinggal di daerah yang cukup aman.

Jam dinding di ruang tamu depan menunjukkan angka mendekati tengah malam. Tak biasanya suaminya seterlambat ini, paling lambat biasanya pukul sepuluh, dan Rani pasti menanyakan kabar keberadaannya. Karena ia tertidur cukup lama, ia tak sempat bertanya keberadaan suaminya melalui pesan singkat. Ia mencoba menghubungi, tersambung namun tidak ada respon berarti hingga tiga kali panggilan tak terjawab.

Di teras rumah ia melamun, di depan bisik bising laron yang sebagian mereka tercerabut sayapnya. Tak bisa terbang. Sebagian berkerumun di seputar lampu berkeliling layaknya ritual tawaf mengelilingi Ka’bah.

Rani sering merasa lelah sendiri, menghadapi seorang lelaki yang bahkan hatinya saja telah patah sebelum ia belajar mencintai, karena kenangan kejadian yang tak terhapus dari memorinya di masa kanak-kanaknya. Konsep cinta belum sempurna terpola di persepsi sederhana anak seusianya, namun menjadi tertangkap dengan pola lain yang tidak mencerminkan substansinya. Ia patah, namun ia harus menjadi batang, penopang ranting bengkok yang ditopangnya.

Tengah malam ia masuk rumah yang belum lama ia tempati itu. Jalanan depan rumah masih terdengar suara bising kendaraan sesekali, tidak seramai beberapa jam lalu. Ia menyeduh teh dalam gelas stainless kecil bergambar bunga yang seminggu lalu ia dapat dari suvenir pernikahan kawan mengajarnya. Setengah sendok makan gula cukup untuk membuat rasanya manis, sebab ia lebih suka rasa asin ketimbang manis. Begitupun juga karakternya, ia lebih suka berbicara apa adanya, mendengar yang memang benar terjadi walaupun kurang enak di hati, daripada harus manis di bibir namun sejatinya sianida. Pikirannya mengembara entah kemana, meskipun semua adalah tentang suaminya.

Di awal-awal pernikahan, Rani tak segan mengomel di pesan singkat, atau menyatakan kecurigaan pada suaminya secara langsung dan terang-terangan, tapi setelah masa satu tahun terlewat dia lebih cenderung terkendali, amarah sering ia bingkai dan bahkan ia rencanakan.

“Mas, kamu lupa cium keningku lho tadi pagi”, “Makanya aku seharian malas-malasan”, percakapan semacam itu biasa, dulu.

“Mas, pulangnya jangan malam-malam ya”, pesan-pesan rindu seperti itu lazim, dulu.

Benarlah saja, apa yang semua orang katakan tentang pernikahan. Maka dari itu, para pakar relationship dan konsultan pernikahan selalu menasihatkan bahwa menjaga keharmonisan sebuah hubungan itu adalah dengan terbukanya komunikasi, sepahit apapun yang dibicarakan, jangan sampai diendapkan lalu membusuk dan pada saatnya ia akan menjadi semacam amarah terpendam yang lantas meledak seperti bom waktu.

Ia memang kerap bertengkar dengan suaminya, mulai dari masalah lupa membuang sampah, cucian kemeja yang masih kotor, sampai masalah inti perihal mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Puncaknya adalah tadi pagi, suaminya memaki, hanya karena ia memercik air di wajah suaminya untuk bangun, sebab sekian kali diusik ia tak juga bangun, lantas karena teramat lelah dengan tumpukan pekerjaan akreditasi di kampus terbawa hingga ke rumah, beban itu tumpah juga akhirnya.

“Perempuan mandul! “, Rani bergeming, mementahkan saja perkataan itu, sebab ia tahu beban pekerjaan suaminya sedang bertumpuk. Rumah masih mengontrak, gaji bulanan harus ia anggarkan juga untuk terapi dan program kehamilan, ditambah lembur yang hampir setiap hari di kampus untuk mengerjakan hal-hal teknis yang sebenarnya bisa dikerjakan anak buahnya namun harus ia juga yang menangani. Ia sebenarnya tak begitu mempermasalahkan kata-kata kasar pertama kali dari mulut suaminya itu, yang membuat ia lemah sebenarnya hanya karena suaminya belakangan menjadi lebih tertutup dari yang sebelumnya ia kenal. Jika dulu setiap makan malam yang lebih sering terlambat hingga pukul sembilan malam suaminya kerap bercerita, bercerita apa saja yang terjadi di jalan, bahkan di kantor, bahkan menu lauk makan siang di warteg saja tak pernah dilewatkan dalam topik cerita. Lain hal yang terjadi belakangan ini. Dan Rani paham betul dengan sekecil perubahan yang terjadi pada suaminya entah mungkin disengaja atau entahlah, ia tapi begitu merasakan bahwa suaminya telah berubah. Tiap ditanya kenapa, justeru ia malah marah. Apalagi semenjak mereka naik gunung Papandayan beberapa waktu lalu, atau mungkin sejak ia bertanya perihal mahasiswi bernama Dinda yang terlihat begitu akrab dengan suaminya belakangan ini.

“Su’udzon saja kamu, badan capek kerja jadi makin pusing pulang ke rumah “, jawaban yang mungkin pernah diutarakan semua suami ketika ditanya istrinya perihal keterlambatan pulang dengan sedikit bumbu-bumbu curiga rasa penghakiman. Tapi bagi Rani, jawaban itu sarkas.

”Mas, aku direkomendasikan kawanku untuk beli kurma muda dan serbuk buah dzurriyyat. Boleh aku beli? Tapi uangku tinggal buat belanja besok”, suatu malam pernah ia mengawali pembicaraan saat suaminya pulang menjelang Maghrib, ia tetap berikhtiar semampu ia mampu lakukan, selebihnya biarlah Tuhan yang memutuskan.

“Gaji kamu kan ada”, jawab suaminya singkat sambil menyendok buru-buru nasi di hadapannya.

“Lagian kamu juga boros, kemarin itu beli sepatu lagi, padahal kan sepatu empat masih bagus semua”, sepatu yang keempat-empatnya dominan berwarna cokelat kulit dan kulit sintetis bertengger indah di rak sepatu di samping pintu masuk ruang utama.

“Aku beli karena butuh Mas, untuk acara camping anak-anak, mana mungkin juga aku pakai sepatu gunung”, bulan-bulan belakangan ini memang pengeluaran rumah tangga mereka lebih besar dari sebelumnya.

“Konsultasi ke dokter saja lah pakai BPJS, Sayang kan bayar iuran setiap bulan tapi tidak bermanfaat”, Husin teringat iuran BPJS yang tarifnya sudah naik seratus persen, beban bulanan semakin hari semakin bertambah. Begini saja mereka belum tertambah beban biaya pendidikan anak, apatah lagi jika nanti ditakdirkan punya anak. Kepala Husin semakin berat.

“Mana ada Mas, konsultasi pakai fasilitas pemerintah”, Rani sedikit sewot, dia tahu betul bahwa suaminya paham, tetapi sengaja sekali memantik api konflik.

“Yakali”, suaminya santai, ngeloyor ke depan menyalakan televisi.

“Uang rokok saja coba dikurangi, bantu aku ikhtiar”, Rani yang sedikit kesal, dari awal ia merasa dihakimi karena dituduh dialah yang selama ini infertil, sedang Husin sama sekali tak mau diajak kompromi.

”Urusi saja dulu itu sampah sudah tiga hari tak dibuang, busuk, sama seperti hatimu, su’udzon melulu. Percuma kerudung panjang-panjang, ngaji tiap hari, tidak pernah bersyukur, jangan malah bikin aku tambah sakit kepala”, pertengkaran demi pertengkaran memang berakar dari ketidakjua hadiran seorang keturunan, yang satu menyalahkan, yang lainnya enggan disalahkan. Masalah sepele bisa mudah sekali tersulut lantaran ego yang tak mau disaingi satu sama lain, keduanya masih sama-sama ingin menjadi api ketimbang melebur emosi dengan sedikit menekan tingginya harga diri.

Hingga di suatu hari yang janggal tak sengaja ia menemukan celana dalam wanita yang ia tahu persis itu bukan miliknya. Ia simpan baik-baik, ia telusuri diam-diam. Setelah tahu itu milik siapa, baru ia klarifikasi.

“Oh, itu punya kakakku”, tiba-tiba saja ia melunak, tidak tinggi suara seperti biasanya.

“Oh”, “Kenapa ada di tasmu?”

“Tadinya aku mau kasih ke kamu, dia beli tapi kekecilan, sudah lama itu”,

“Kapan ketemu kakak?”,

“Memangnya kamu mau ikut?”, “Tiap hari kamu sibuk dengan anaknya orang, sampai lupa celana dalam cuma punya lima, itupun sudah belel semua, istri itu mbok yang cantik ketemu suami di rumah”,

“Tapi itu celananya seperti sudah dipake, lagian juga kenapa tidak langsung kasih ke aku? ”

”Males ah, ngobrol sama kamu, ujung-ujungnya aku salah melulu”, Husin mematikan televisi, memilih masuk kamar.

Bagi Rani, ia cukup tahu. Celana dalam dan segala ketertutupan, itu absurd.

Sampai akhirnya ia menemukan bukti dari chat yang sengaja ia baca diam-diam dari gawai suaminya. Bukti bahwa memang ada sesuatu yang terjadi antara suami dan mahasiswa yang selama ini dekat dengannya. Kedekatan mereka sudah terlalu dalam dan di luar batas, bukti itu menyatakan bahwa perzinahan telah terjadi di antara mereka.

Terisak ia di depan ayahnya, padahal seumur dia dibesarkan tak pernah ia menangis semenjadi itu, bahkan lebih menjadi ketimbang saat Bayu meninggalkannya untuk selamanya. Ayahnya diam, belum dapat mengemukakan jalan keluar untuk masalah putrinya. Anak gadisnya yang pernah patah hatinya karena ditinggal jodohnya, kini kembali menangis karena ingin meninggalkan jodohnya. Sambil membawa sebuah surat gugatan cerai. Tekatnya sudah bulat.

“Keburukan masih bisa diperbaiki nak. Allah tidak tidur. Allah itu suka memberi petunjuk.” “Masih ada solusi selain surat ini”, negosiasi yang akan sia-sia.

Kalimat Ayahnya mudah-mudahan dapat melonggarkan tekanan kesedihan anaknya. Ada yang mengalir di hati laki-laki tujuh puluh tahun itu, tapi tidak tampak di pipinya.

“Pernikahan yang baik itu nak, pernikahan yang menyatukan dua manusia tidak hanya sampai di dunia saja, tapi juga nanti di akhirat sana”, “Ayah tidak tahu seberapa buruk keburukan suamimu yang kau sebut sangat buruk itu, tapi jika keburukan itu membuatmu menjadi tidak bersyukur dan menghabiskan batas rasa sabar yang sebenarnya tak berbatas, silakan, Ayah tidak akan melarangmu”, Ayah ridho.

Sampai disitu, ia tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Dia masih mengumpulkan keberanian untuk meminta klarifikasi kepada Dinda, wanita yang telah membuat hati suaminya pergi dari hatinya. Wanita yang normal, cantik, muda, cerdas dan sekufu pemikiran dengan mahagurunya itu. Wanita yang banyak meminta bantuan pada suaminya, dan suaminya rela membantunya. Wanita yang memberikan penghargaan diri terbaik untuk suaminya, melebihi penghargaan diri yang diberikan oleh istrinya sendiri.

Ia kehilangan Husin yang mendambakannya sebab kedewasaannya, ia kehilangan Husin yang menerima segala kurangnya. Ia kehilangan keikhlasan, kesadaran dan kerelaan bahwa takdir kerap diutus Tuhan untuk membajakan jiwa, menegarkan nurani, dan meneguhkan harapan bahwa segalanya memang kuasa Tuhan. Menjalani dengan sebaik-baiknya kehidupan dengan penerimaan terbaik apa yang bisa diupayakan, selebihnya apa yang tak mampu manusia kendalikan biarkan tangan Tuhan yang bertindak.

Banyak pernikahan yang terlihat manis, namun beberapa pernikahan ada yang berat. Pernikahan yang baik adalah yang saling menumbuhkan. Namun jika keduanya tak bertumbuh bersama, maka salah satu harus rela mati lalu meleburkan diri dengan tanah menjadi pupuk yang menyelamatkan kehidupan yang lainnya. Tak ada rumah tangga yang tanpa konflik, masing-masing pernikahan memiliki ujiannya sendiri-sendiri. Di balik harmonisnya pernikahan, ada ujian yang susah payah sedang dihadapi untuk dilewati. Dibalik gambar saling kait mesra, ada jarak yang sedang diperjuangkan untuk tetap sejalan seirama. Perjalanan menikah, adalah perjalanan merelakan diri berbagi hidup dengan orang lain, belajar menyempurnakan hidup orang lain dan rela disempurnakan oleh orang lain.

Pernikahan yang baik adalah yang tumbuh bersinergi. Ada yang cintanya tumbuh menjadi gunung, menjulang gagah perkasa dikenal dunia, ada pula yang cintanya tumbuh lemah lembut menjadi rumput namun tak pernah goyah oleh angin ribut. Namun ada satu hal yang perlu diinsyafi, dengan menikah tidak pernah ada manusia yang saling memiliki. Masing-masing hanya saling dititipi, lalu diuji, apakah kebersamaan itu memberi makna bagi diri, sesama dan juga semesta.

Seburuk apapun keadaan Rani, ia akan tetap mencoba bertahan, selama itu bukan pengkhianatan. Hidup hanya sementara, apakah ia rela hidupnya yang sementara itu dihabiskan bersama orang yang telah menodai segala kepercayaannya. Sebab bukan lagi hatinya yang terluka, tapi kepercayaannya.

Husin masih gelisah, khawatir dengan hal-hal yang akan terjadi. Dia sadar telah khilaf, tapi sungguh itu hanya sekali, kemarin lusa. Sebelumnya mana berani dia. Entah setan dari mana yang menggodanya hingga kemudian membuat Dinda menangis. Dia merasa menjadi lelaki yang jahat, telah sering membuat istrinya menangis, dan kali ini ia juga telah membuat Dinda menangis.

Tiba-tiba, telpon di meja kerjanya berdering, gawainya memang beberapa hari raib, dan sepertinya positif disita istrinya.

“Pak, ada istri Bapak bersamaku. Datang please di cafe biasa, sekarang”

Telapak tangan, ketiak, pelipisnya mendadak basah, oleh keringatnya sendiri. Padahal AC tersetting enam belas derajat Celsius.

Apakah akan tamat sampai disini riwayat pernikahan mereka? Hanya istrinya dan Tuhan yang tahu.

Bersambung…