Kenang-Kenanga [31]

“Apakah kita, cukup besar tuk mengampuni
Tuk mengasihi
Tanpa memperhitungkan masa yang lalu
Walau kering
Bisakah kita tetap membasuh?

Bisakah kita tetap memberi
Walau tak suci?
Bisakah terus mengobati
Walau membiru?

-Hindia Rara-

Cericit burung gereja di ranting ketapang kencana membuang kotoran tanpa berdosa di pucuk bunga putri cerah magenta. Bunga tak protes, sebab ia percaya sore nanti akan turun hujan dari langit lalu membasuhnya. Lalu ia kembali bersinar kontras di antara rumput liar di sela-selanya, bersaing fotosintesis memperebutkan sinar matahari dan hara air dari dalam tanah. Hidup berputar mengikuti siklusnya, seperti biasa.

“Kamu selesaikan saja dulu penelitianmu, kita bisa komunikasi via email”,

“Istri Bapak bagaimana? Masih marah?”, matanya yang coklat bulat kontras dengan wajahnya yang tirus putih bersih dibingkai hijab masa kini berwarna peach. Kulot warna senada nampak anggun dikenakan dipadu dengan sneaker warna putih menyilang elegan.

“Rani bukan urusanmu”, Husin sudah pulih namun belum mulai beraktivitas di kampus.

“Tapi Pak, saya kemarin..”, tiba-tiba suara pintu pagar dibuka, wanita yang sedang mereka bicarakan seolah memilik indera ke-enam untuk segera pulang. Wajah kusut Rani semakin tak keruan melihat suaminya duduk berdua dengan seseorang yang menjadi duri dalam rumah tangga mereka. Diredamnya amarah, ditenangkannya hati, ditatanya kalimat di tenggorokan, dan terakhir logikanya harus lebih maju daripada perasaannya.

Husin waspada, berdoa untuk beberapa menit selanjutnya. Sementara Dinda mencemaskan tatanan kerudung yang licin di bagian ujungnya, lalu sedikit merapikan sikap duduknya. Langkah Rani sekian persen lebih lambat, tanpa sedikitpun memalingkan wajah dari fokusnya, berusaha menguasai suasana. Hingga ketiganya berhadapan tak ada yang berinisiatif menggerakkan badan untuk sekadar menyuarakan bahasa tubuh.

“Ran, Dinda ada hal penting untuk keperluan acc pengesahan penelitian. Itu saja”, Husin coba memberikan penjelasan tanpa diminta.

“Oh, iya aku sudah tahu, lebih dari itu juga silakan”, kali ini Rani ternyata belum berhasil meredam amarah terpendam sejak ia membuka pintu pagar. Dia memaki dalam hati. “Shit!”.

Pertahanan Husin mulai retak, dan menebak hal buruk yang menit selanjutnya akan terjadi. Wanita kebaikan hatinya bisa turun ke titik nol atau bahkan minus ketika dikuasai emosi, sebab hatinya lebih tinggi dari pada logikanya. Dia gamang, antara menyuruh Dinda pulang atau masuk ke dalam sekadar menerima verifikasi bahwa istrinya tidak menaikkan level kemarahannya. Tapi semenjak ia pulang dari rumah sakit, komunikasi antara dia dan istrinya sebeku frezer lemari es, sehambar nasi aking terjemur tiga hari di tengah terik, dan tak ada saling berinisiatif memulai obrolan ringan. Hubungan mereka kini sebatas kasir minimarket dan konsumen pengunjung, atau waitress restoran dengan customer, atau petugas resepsionis dengan pendaftar pelayanan kesehatan.

“Kamu sebaiknya pulang Dinda”, anjuran yang lebih terdengar sergahan.

“Bapak takut dengan istri Bapak?”

“Bukan begitu, jangan sampai terjadi kembali hal buruk yang tidak diinginkan”, Husin sudah kehilangan pembelaan.

“Justru saya kesini sekalian mau meminta maaf, dan meminta supaya ke depan tidak ada lagi hal-hal prasangka yang dikhawatirkan, berbicara bertiga sepertinya lebih baik”, Dinda berdiri membetulkan kerudung yang sebenarnya masih rapi, memberi aba-aba untuk masuk rumah.

“Pulang saja kamu!”, Husin menarik lengan ramping yang menyibak bau wangi yang menggetarkan, mengingatkan tautan tangannya di leher Husin membelai punggungnya dengan lembut, penuh gairah menyentuh tubuhnya malam itu. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari istrinya, wanita dewasa yang tidak pernah punya inisiatif seksual pada pasangan sah-nya, menarik diri dan baru memberikan respon badani saat Husin memintanya. Husin membuang pikiran syahwati yang melintas di benaknya.

“Biar semua baik-baik saja, aku perlu menegaskan kembali, Bapak tidak perlu melarangku”, kalimat yang hanya keluar dari seseorang yang memang intim secara personal. Jelas jika keduanya memiliki kedekatan yang menafikan kekhawatiran penolakan. Kedekatan yang tidak terjadi pada hubungan pernikahan Husin dengan Rani.

“Mau menjelaskan apa?”, tetiba Rani muncul dari balik pintu yang sudah terbuka semenjak dia masuk, api dalam sorot matanya telah susah payah ia coba padamkan.

“Maaf mbak, kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi tidak perlu berpikiran macam-macam tentang hubungan kami, saya mengahargai pernikahan kalian”, masih dengan posisi berdiri di atas kursinya.

“Sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi?? Artinya dulu pernah ada hubungan apa-apa dong?”, reaksi Rani tak disangka. Husin belum pernah melihat istrinya sesinis itu. Begitulah reaksi seorang wanita yang sedang menghadapi emosi.

“Jadi kamu berubah pikiran? Baguslah. Jadi kita tidak perlu bersusah payah berbagi, toh sama saja tetap aku yang akan kalah, oh…bukan, maksudnya aku yang mengalah”,

“Rani cukup!”, Husin memandangnya tajam.

“Sampai kapanpun, kebencianmu padaku akan selalu membuatku buruk lahir batin di matamu”, entah mendapat kekuatan dan ilham kalimat darimana, reaksinya tak pernah ia rencanakan sebelumnya.

“Rani, dia cuma mau minta maaf”, Husin tetap tak ingin orang lain menangkap citra buruk pernikahannya, meskipun sudah terlanjur buruk. Membela istrinya di depan orang lain di rumahnya sendiri justru akan membuat citra rumah tangganya semakin buruk, maka ia memilih memenangkan hati Dinda dan berharap ia segera pergi, lalu dapat menenangkan istrinya kemudian, di waktu yang lebih lapang tanpa orang lain di antara mereka.

“Sudahlah Pak, semoga istrinya sadar bahwa perawatan hati tanpa perawatan diri tidak cukup membuat suami bahagia”, Husin meradang, seperti menjadi wasit bagi dua balita yang tidak bisa dimenangkan salah satunya.

“Pulang kamu Dinda”, sergah Husin. Sedang Rani hampir meradang dengan wajah merah dan mata penuh api. Sebelum semuanya menjadi lebih rumit, ditariknya tangan mahasiswanya itu menuju pagar dan menutup pagar dengan kasar.

Rani mematung di celah pintu yang terbuka, dengan hati retak yang memang sudah tidak sempurna. Mengumpulkan nafas, membuang umpatan buruk, dan membulatkan sebuah kalimat.

“Menikah saja dengan kekasihmu itu jika memang kamu lebih nyaman dan bahagia. Itu sederhana”,

“Tidak sesedehana itu”,

“Sesederhana kamu mengajaknya ke hotel, menikmatinya. Ajak saja dia menikah, lalu nikmati sepuasmu”, kekesalan Rani memuncak, kepalanya mendidih.

“Rani cukup!”, Husin mulai menghardik.

“Cukupkan pembicaraan atau pernikahan?”, api masih berkobar, tersulut kalimat-kalimat mengandung gas bahan bakar.

“Terserahlah apa maumu, kamu yang membuat aku jadi begini! Urus saja muka kusam penuh jerawat dan daging busukmu itu. Masih bersyukur aku mau denganmu, aku bisa mencari perempuan yang lebih subur dari kamu”, setan telah merasuki Husin hingga tak sadar kalimatnya menjadi belati tajam yang mengiris segala perlawanan istrinya. Disambarnya sepatu di rak merah di samping kamar bergegas menyandang tas dan berlalu meninggalkan luka baru di sayatan luka yang belum kering benar di hati Rani.

Air mata sekian ratus hari yang entah akan berkali lipat menjadi berapa kian ribu. Dengan hati bergolak ia menyongsong suaminya, menahannya agar mendengarkan hatinya.

“Mas, tak apa jika kamu mau menikahinya. Silakan, aku ridho, jika memang itu akan membuatmu ridho”, dengan air mata tak terbendung menahan tangan suaminya.

“Percuma dengan omong kosongmu. Harusnya dari dulu kamu bicara begitu”, amarah Husin semakin meluap.

Astaghfirullah Mas”,

“Haha, apa kataku?! Bullshit dengan ucapanmu. Lebih baik urus itu rahim kamu supaya subur, supaya suamimu tak mencari ladang yang lebih subur”,

“Hei hei, apa kamu mau aku panggilkan Dinda sekarang? supaya dia tahu aku sudah izinkan dia jadi istrimu?”, sesak ia menahan kalimatnya yang berat serta sergahan tangan Husin mengelakkan tangannya yang erat mengendali.

“Halahhh, mau menikah lagi pun tak perlu aku minta izinmu. Belajar agama dari mana kamu?”, tangannya menyentak telapan tangan Rani.

“Jadi maumu apa?”, Rani sudah pasrah pada keadaan. “Kita berpisah saja? Aku ajukan surat ke pengadilan? Begitu?”, amarah telah menggantikan rasa sedihnya.

“Pusing aku mendengar kalimatmu!”, Susah payah dipakai sepatu di depan pintu rumah. Sementara Rani masih mematung memandangi suaminya karena penolakan sikap yang diterimanya. Air matanya surut, bukan karena tak bersedih, bebal hatinya bertahun-tahun menghadapi masalah yang sama, menerima sikap yang sama, dan ego yang serasa seperti bola salju, semakin hari semakin membesar. Ada sebersit penyesalan kenapa ia harus kembali ke rumah ini, dengan sebuah harapan besar semua akan baik-baik saja dengan lembaran baru yang lebih putih. Ekspektasinya hancur berantakan. Rasa sakitnya bahkan melebihi yang ia duga, rasa kecewanya melampaui apa yang ia kira. Tak ingin pula ia mengecewakan Bapaknya yang sangat berharap ia bertahan pada rumah tangganya. Badai memang pasti akan berlalu, tapi ia pun tak tahu harus berapa lama ia memastikan segala badai akan seketika berlalu.

“Hubungan kita jelas tidak sehat, aku butuh kejelasan. Jika memang aku harus pergi aku pergi. Jika memang kamu mau menikah dengan Dinda, menikahlah tanpa perlu takut aku menghantui hubungan kalian”,

“Atur saja sesukamu, tak pernah kamu menghormatiku. Bahkan percaya padaku saja kamu tidak”,

“Aku butuh waktu untuk menata kembali rasa percayaku. Tidak mudah menata hati utuh kembali. Jadi tolong bantu aku untuk tetap berprasangka baik jika kita mau lebih baik ke depan”, Rani tetiba melunak.

“Bagaimana mau lebih baik, jika percaya saja kamu tidak?!”, perseteruan seperti diberi panggung kali ini, dan kedua pemain terlihat ingin menuntaskan laganya.

“Pilih saja, menikah dengan wanita itu, atau menjauhlah dari dia jika hubungan kalian melanggar syariat Tuhan”,

“Aku yang seharusnya meberimu pilihan, bukan semua apa maumu. Tau apa kamu tentang kami?”

“Menginap berdua di hotel itu kau anggap biasa? Zina kalian!”, sebongkah beban yang selama ini tertahan di hati tanpa terkatakan seperti diturunkan, melegakan hatinya namun membahayakan pernikahannya.

“Memang kamu bisa bantu proyekku? Tidak kan? Cuma dia yang bisa. Aku kerja juga buat kamu”,

“Kau pikir materi bisa paling membahagiakan? Teramat receh jika bahagia hanya diukur dengan uang, lalu pernikahan kau sia-siakan”

“Ahh, berdebat denganmu tak akan selesai sampai kiamat. Terserah apa maumu, makin pusing aku”, Husin beranjak di antara daun putri yang merambat di depan teras rumah mereka, menjadi saksi hari-hari berat mereka hampir setiap hari.

“Masalah kita belum tuntas, atau mau aku yang tuntaskan?”, Rani makin tak sadar atas apa yang diucapkannya, bahkan penggalan kalimat-kalimat yang ia tata sebelumnya seperti berhamburan entah kemana.

“Terserahlah”, pendek tapi mengandung tanda tanya panjang, setidaknya bagi Rani.

Ia sudah tak punya waktu untuk menahan, apalagi melarang laki-laki itu pergi, sekali lagi. Seandainya ia tak kembali pun sebelumnya, Ia telah memprediksi apa yang akan terjadi sesudahnya. Takdir tak pernah berjanji setelah badai akan ada damai. Takdir pun tak pernah menjamin setelah rinai menderas akan ada pelangi. Hanya Tuhan yang mampu menjawabnya, Ia tetap satu-satunya Pemegang kendali. Hidup yang berjalan, akan mengajarkanmu. Meski zaman menua, renta dan mati. Tapi jiwamu terus tumbuh, mendewasa. Asal kau berjanji, tak akan terlalu berharap apa yang kau sebar akan kelak kau tuai. Yang terjadi terjadilah. Don’t expect too much. Mengobati orang lain tak perlu menunggu lukamu sembuh. Kering hatimu tak berarti tak bisa membasuh. Hidupmu, adalah tentang dirimu. Bukan tentang orang lain, biarkan jika segalanya berjalan di luar batasnya, maka hukum Tuhan yang akan membawanya kembali pada tujuan penciptaannya. Kembali pada hukum karmanya, sunnatullah sang Pencipta.

“Kamu masih menginginkan suamiku?”, ucapnya beberapa waktu lalu melalui sambungan telepon. Tak ada jawaban dari seseorang di seberang sana.

“Begini saja, jika kamu betul ingin hidup bersama suamiku karena kamu memang berarti untuk pekerjaannya. Silakan, tapi aku yang akan pergi”,

“Tak perlu pergi Mbak, aku siap jadi yang kedua. Dan itu adalah solusi terbaik untuk kita bertiga”, negosiasi yang mungkin akan dipertimbangkan atau akan berakhir sia-sia.

“Iya, solusi terbaik untuk kalian, tapi tidak untukku”, Rani menenangkan diri. “Tenang Dinda, aku tidak akan keberatan jika harus mengalah, meski jujur ini berat, setelah aku susah payah berhasil memaafkan kalian”,

“Tapi suamimu tetap menginginkan kita berdua ada dalam hidupnya”,

“Ada bukan berarti harus bersama-sama, bertiga, bukan?!”

“Mbak kan lebih tahu ikatan pernikahan lebih terpuji daripada kami bersama tapi tidak terikat?”

“Kamu apa-apaan?!, seharusnya aku yang melindungi pernikahan kami dari kehadiranmu, bukan malah kamu yang merasa terdholimi tidak diizinkan masuk dalam lingkaran kami, sebegitu teganya. Terserah sekarang, ambil saja suamiku sesukamu”, bodohnya jawaban itu hanya mengendap dalam hati Rani.

“Kita bertemu saja besok di rumah, kita bicara bertiga”

Sehari sebelumnya Rani memang sudah memprediksi kedatangan Dinda, tapi tetap saja kontrol emosinya selalu tidak penuh, ditambah Husin yang selalu membela wanita itu, seolah-olah dia adalah halangan mereka bersatu, padahal dia yang seharusnya paling terluka, dikhianati karena orang ketiga. Begitulah luka, gelas yang terpegang tangan pun meski tak menyakiti tetap terasa menyakitkan. Begitulah luka, hanya waktu yang bisa membuatnya kering.

Definisi mencintai terkadang adalah dengan melepaskan, seperti seseorang yang justru melepaskannya saat ia mulai mencintai, saat seharusnya keduanya bisa saja menumbuhkan cinta bersama, merasakan cinta yang sama. Tapi nyatanya, cinta bisa membebaskan, tidak selalu memiliki satu sama lain yang justru dapat menyakiti satu sama lain. Pada detik ribuan yang dilewati manusia, ada ikhlas yang tumbuh dengan sendirinya dan ada pula ikhlas yang tumbuh dengan terpaksa. Tapi keduanya, tetap berasal dari Tuhan. Ikhlas adalah amanat Tuhan, kita ambil sendiri dari tangan Tuhan atau diberi tanpa persiapan oleh Tuhan. Terima saja, dan pada akhirnya semua pemberian Tuhan selalu dimaksudkan baik, entah hari ini atau esok kita baru menyadarinya.

Seseorang itu mengajarinya, dan ia baru menyadarinya setelah sekian puluh tahun.

Bersambung…