Kenang-Kenanga [30]

Hal terberat dari mencintai adalah bersabar, saat ditinggalkan. Tapi hal terberat dari mencintai adalah bertahan, saat seharusnya meninggalkan. Cinta yang rumit bisa jadi sederhana saat kita sederhanakan, dan cinta yang sederhana bisa jadi rumit saat kita uraikan. Maka jika modal utama pernikahan adalah cinta, maka ketahuilah, cinta itu adakalanya pasang, adakalanya surut. Jika pasak utama pernikahan adalah cinta, maka bagaimana bisa kita tegak di tengah badai padahal cinta itu labil, terkadang sederhana namun seringkali rumit.

Mencintailah tanpa alasan, tanpa butuh seribu alasan atau sejuta sebab, kata mereka para pujangga. Tapi celakanya, sebagian besar pujangga itu hidup berkalang kata-kata, tanpa mampu mengekstraksi campuran asa yang terealisasi dengan mimpi berbalut ilusi. Bagusnya, mereka menemukan hikmah di sebalik kata mencintai. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi pemuja yang cacat indera.

Bagian tersulit dari mencintai adalah mempercayai. Memastikan tak ada intervensi masa lalu dan memastikan penjagaan harapan di masa depan. Padahal takdir tidak pernah pasti, dia nisbi di tangan Tuhan. Maka jika kita percaya Tuhan, segala yang nisbi di tanganNya mampu kita buka dengan doa. Oleh karenanya, mengapa beriman itu sulit, percaya itu berat, sebab kita tak pernah punya kontrol penuh atas hati kita. Tangan, kaki, dan apapun anggota raga kita mampu kita kendalikan dengan kekuatan pikiran, sebab kita memiliki kendali penuh atas keterkendalian mereka. Tapi hati, kita tidak pernah punya kendali penuh atasnya. Hati itu milik Tuhan, tempat dimana Tuhan mengontrol bernama manusia, yang telah diciptakannya.

Oleh sebab itu, dalam pernikahan mampukah kita percaya pada orang yang sama seumur usia kita?. Jika modal dasar pernikahan adalah cinta, maka cinta bisa dibangun dan diperbaiki kapan saja. Tapi jika dasarnya adalah percaya, katakan! siapa yang mampu memulihkan rasa percaya kecuali Tuhan. Menikahlah karena Tuhan, maka Dia yang akan mengendalikan kalian, alih-alih dikendalikan oleh cinta yang lebih sering membutakan.

Dua puluh tahun, dua dekade lamanya, mereka dipisahkan oleh garis takdir yang berseberangan. Sekian purnama berganti gerhana, tak ada peluang garis takdir mereka bersinggungan. Bukan waktu yang sebentar untuk dapat memastikan sebuah hati tetap tinggal di rumahnya, di antara jutaan manusia yang datang dan pergi dalam kehidupan. Gestur dan bahasa tubuh mungkin masih saja dapat terbaca, meski gurat hidup membentuk postur dan raut rupa menjadi berbeda. Menua bersama usia, meski ada hal yang tak bisa lekang oleh masa.

“Rani, itu kamu?”, Rani tertegun beberapa jenak, melihat Damar hari ini. Dengan kaca mata yang berbeda, masih tampak mata tajamnya. Tubuh kurus berbalut kaos hitam berjaket polo menyembunyikan daging badannya yang kusut. Otot jari-jemarinya menonjol, dengan ujung kuku kelabu.

“Oh eh, Suster saya Rani kawan pasien anda”, salah tingkah. Spontanitas yang sebenarnya tidak ada dalam list rencana Rani. Pertemuannya dengan Damar kali ini sangat berpotensi akan membuat situasi menjadi semakin rumit dan kacau. Padahal dia sedang dilanda kegalauan yang luar biasa.

“Suster, saya mau ngobrol dengan.. kawan saya. Kalo sudah selesai nanti saya hubungi ya..”, Damar cukup percaya diri. Suster mengiyakan.

Dengan tenaga seadanya Damar meraih tuas dan mulai mendorong roda. Tapi Rani segera menolongnya.

“Mari aku bantu”, ia menjangkau gagang di belakang kepala, bersiborok dengan rambut hitam menjuntai ke bahunya, sepertinya sedikit ada perhatian terhadap kesehatan rambutnya.

“Ran, kita ngobrol disana”, Damar menunjuk bangku semen tempat Rani memergoki keberadaan Damar tempo hari. Rani menghentikan laju roda, dengan ribuan kata berjejalan di kepala, bingung harus memulai dengan kalimat apa.

“Kamu apa kabar Ran?”, sama persis dengan kalimat pertama yang telah di tulis Rani di bait pertama.

“Alhamdulillah”,

Keduanya terdiam, masing-masing pun masih menyusun kalimat kedua di bait pertama setelah dua puluh tahun tak bersua dengan membawa tanda tanya di kepala.

“Itu saja?”, Damar berbicara santai. Rani kebingungan.

“Siapa yang sakit Ran? Suamimu? Anakmu? Kawanmu?”, Damar tak bisa menyembunyikan rasa penasaran pada wanita di hadapannya.

“Suamiku”, singkat dan tertebak oleh Damar, meski ada yang berdentum di dasar hatinya.

“Enak ya suamimu…, sakit ada yang menunggu…Aku dulu bermimpi dapat menua bersama keluarga yang kukasihi. Anak yang kusayangi, istri yang kucintai” “Tapi sudahlah, tidak patut kita meratapi takdir. Apa yang sudah berlalu biarlah berlalu”, Pemilik mata tajam itu menerawang, jauh menembus tembok rumah sakit, memangkasi dedaunan beringin di samping pagar, menyusur jalan raya lalu bermuara pada catatan-catatan perjalanan yang terkenang olehnya dan wanita yang kini di hadapannya. Harapan itu menjelaga, seperti kenang-kenangan yang mengekstraksi kisah dan menjadi prasasti begitu saja. Ingatannya telah melompat ke belakang begitu jauh, meski ia pasti terjatuh.

“Kemana saja kamu sekian tahun?”, ada amarah yang teredam oleh pertanyaan. Tak berhak sama sekali ia marah, sebab siapalah dia bagi Damar yang tak juga menjadi alasan untuk tak pergi.

“Aku pergi untuk kebaikan semua, sebab hidupku sudah rusak, jangan sampai hidup orang-orang yang kusayangi di sekitarku juga sama rusak sepertiku”, sorot matanya masih tajam membelah bongkah kenang pahit yang seharusnya sudah terkubur berkalang kenanga.

Rani hanya mengernyitkan dahi, tak mengerti apa yang disampaikan. Hanya berekspektasi tanpa berargumentasi.

“Aku sakit Ran, hiv“, mata itu kini merunduk, mengumpulkan harapan yang berserakan.

“Aku sakit sudah lama, bahkan sejak dulu kita bertemu. Tapi dulu masih hiv, sekarang aku hanya berupaya melanjutkan hidup, semoga apa yang pernah aku lalui terhapus dengan apa yang kini aku jalani”, wanita di hadapannya masih memperhatikan serius tanpa banyak pertanyaan.

“Dulu aku takut orang-orang di sekitarku akan tertular dengan penyakitku. Maka aku memilih pergi dan bertaubat. Dan untuk menikah, aku juga takut”, ia tersenyum getir, tak menunggu respon.

“Aku minta nomor kontakmu, aku akan mengunjungimu kembali, tapi sekarang aku harus kembali, karena ada kerabat suamiku”,

“Jagalah suamimu, salam untuk dia mudah-mudahan lekas sehat”,

“Kamu masih berhutang penjelasan padaku”, Damar tersenyum menyaksikan wanita di hadapannya masih sama karakternya seperti dua puluh tahun lalu.

“Maafkan aku Rani..”, gumam Damar saat perempuan dewasa itu menghilang di kejauhan.

Pahit kisah yang harus ia kenang dan ceritakan. Meski ia bersyukur banyak hal yang sudah ia lalui untuk tetap bertahan melanjutkan hidup. Betapa dulu ia terpuruk, ingin mati, sampai akhirnya ia bertemu dengan Rani. Seseorang yang selalu berenergi, dan mampu menularkan energi pada jiwanya yang penuh pesimis. Dari Rani, ia belajar memandang hidup dengan optimis. Berkarya dengan passion-nya, berkumpul bersama orang-orang yang bervisi-misi sama dengannya, mengindahkan hidupnya yang berantakan, meskipun tetap saja berserakan. Komunitas Aksara telah mengajarkannya ilmu kehidupan, memaknai hidup dengan keindahan seni. Betapa dulu ia jenuh dengan pekerjaan kantornya yang menumpuk di pagi hari, lalu bersama mereka tumpukan itu terurai dalam bait-bait puisi di malam hari.

“Damar, sudah kusampaikam salammu pada suamiku. Maharani”, bunyi pesan singkat yang malam itu tertera di gawai Damar.

“Alhamdulillah,” singkat ia balas. Ia tak bertanya banyak tentang suami Rani, sebab ia merasa tak punya hak untuk mengetahui banyak kehidupan Rani. Andai dulu harapannya menjadi pendamping hidup Rani terwujud, mungkin hari ini akan ada cerita yang berbeda. Angan yang ia jaga agar tak berubah menjadi harap yang utophia.

Rani duduk di sisi kanan tempat tidur Husin. Setelah dua hari tak sadarkan diri akhirnya ia membuka mata. Ia tak berharap banyak Rani akan mengampuninya, tapi dengan kehadiran istrinya cukup bukti bahwa wanita itu tak memuja egonya, dan tetap memilih menjadi manusia yang baik. Hati Husin gerimis, tapi khawatir pada kalimat perpisahan yang mungkin saja akan diminta Rani. Sebab ia adalah wanita paling keras kepala yang dikenalnya, tak pernah punya ampun pada hal-hal yang menyimpang dari prinsip dan norma hukum yang kuat sekali ia pegang. Selama ia sadar tak banyak ia mendengar wanita yang banyak bicara itu lebih diam dari biasanya. Ia tetap melayani keperluan pribadinya, tanpa banyak berbicara. Lebih banyak menjawab, tanpa inisiatif bertanya.

Beberapa saudaranya yang tinggal dari luar kota datang menjenguknya, hanya ayahnya saja yang entah belum tahu atau pura-pura tidak tahu, atau tahu tapi tak pernah ada keinginan menjenguk putra satu-satunya dari kelima anak perempuannya. Rusaknya citra ayah di alam bawah sadarnya telah cukup mengimbau hatinya untuk tak mengharapkan kedatangan lelaki yang seharusnya menjadi panutannya itu. Frame nilai atas ayahnya cukup berpengaruh pada pribadinya hari ini, terutama pada saat ia berhadapan dengan konflik. Sebagaimana ia ingat dahulu lebih sering lari dari pertengkaran dengan kawan sekelasnya, atau bolos mengaji karena takut pada bully kawan-kawan yang menyorakinya sebab kesalahan kecil yang dibuatnya. Atau pada kebiasaannya pergi ke rumah neneknya tanpa izin ibunya jika kedapatan melakukan kesalahan yang ia sembunyikan dari ibu dan kakak-kakanya. Akibatnya hari ini, saat ia merasa terancam dengan aturan-aturan dan penghakiman kesalahan oleh istrinya, ia telah terlanjur memilih mencari pembelaan dari seseorang wanita lainnya yang sebenarnya tak pernah punya kekuatan untum membela. Wanita itu hanya sebatas melindungi dirinya saat ia bersembunyi, dan pembelaan itu nyatanya fatamorgana. Sebab, membela diri itu hanya berlaku pada siapa yang benar, maka jikapun yang bersalah mampu membela diri itu hanyalah sebuah alibi untuk dapat membenarkan kesalahannya. Hingga hari ini pun wanita yang ia anggap dapat melindunginya itu tak tampak bahkan sekadar menanyakan keadaannya setelah konflik sebelumnya. Justru wanita yang menyerangnya-lah yang hadir disini, entah untuk mengampuni atau merawatnya untuk kemudian ia hakimi kembali. Maka ia pasrah pada nasib yang meskipun sudah digariskan Tuhan, ia telah diberi kesempatan menulisnya dengan pensil dan terlanjur menulis kesalahannya sendiri.

“Pak Husin perlu lima hari istirahat disini untuk penanganan luka agar tidak infeksi”, Dokter tiba-tiba masuk setelah sebelumnya memeriksa pasien di ruang sebelah kanan. Karena pasien ruang kelas dua di sebelahnya masih sama-sama harus dirawat intensif, percakapan sepasang suami-istri itu pun sangat terbatas perihal penanganan medis. Tak pernah ada hal pribadi yang coba diulas kembali, disamping itu juga keluarga Husin tak pernah tahu-menahu masalah mereka, tidak seperti Rani yang sangat terbuka pada orang tuanya. Maka topik pembicaraan mereka hanya sebatas hal medis dan keperluan Husin.

“Baik Dokter”, masih dengan suara lemah Husin mencoba menjawab. Dokter memastikan obat, dan tampak perawat memeriksa saluran pembuangan urine yang tersendat.

“Terimakasih Ran, sudah memaafkanku”,

“Siapa yang bilang aku sudah memafkanmu. Semua pengkhianatanmu akan dibalas Tuhan”, jawab Rani dalam hati kecilnya, tak terutarakan dari mulutnya. Namun ia hanya mengangguk, dengan berat diliputi rasa iba.

*****

Setelah pulih dari sakit tifus, Damar berencana bertemu dengan Rani dan suaminya. Sakit tifus yang dideritanya dari kecil memang kerap kali kambuh bahkan sebelum ia tahu virus ganas itu hinggap di tubuhnya. Setelah keadaan tubuhnya membaik Ia akan memenuhi rasa penasaran pada lelaki yang berhasil meluluhkan keras kepalanya wanita itu. Ia juga cukup penasaran dengan manusia kecil yang barangkali mewarisi karakter Rani. Malam kelima semenjak dia bertemu Rani ia cemas jikalau Rani menghilang begitu saja tanpa kabar seperti yang dilakukannya dahulu, barangkali untuk membalas dendam. Bahkan makin hari makin bertambah rasa penasarannya karena Rani belum berbicara banyak, sedangkan pesan singkatnya meminta izin menjenguk suaminya belum juga dibalas.

Dua puluh tahun yang berlalu memutar kenangan pahit saat peristiwa keji itu merubah hidupnya, merubah seluruh dunianya, merubah pandangannya memandang hidup. Saat sahabatnya menusuknya dari belakang, menjerumuskannya pada keterpurukannya hingga hari ini.

“Apa-apaan kamu Julian”, saat kawan satu kos dengannya menjebaknya dalam pesta malam tahun baru bersama dengan banyak kawan Julian yang ia tak cukup kenal. Ia dicekal oleh lima orang yang mengunci tangan dan kakinya termasuk Julian, dan satu orang memaksakan organ vitalnya masuk di tubuh bagian belakangnya. Obat bius yang dimasukkan dalam minumannya telah kehabisan pengaruhnya. Ia tak tahu berapa organ vital yang telah menjamah tubuhnya. Nyeri yang teramat sangat ia rasakan sampai kemudian bergantian keempat orang itu melakukan tindakan bejat yang sama. Ia kehabisan tenaga, dan kehilangan kesadaran setelahnya.

“Sudahlah, daripada kamu ingin menikah terus tapi belum keturutan, mending senang-senang dengan kita, daripada berzina”, tawa Julian membahana tanpa rasa bersalah setelah permohonan maafnya ditolak oleh Damar.

“Tutup mulutmu Julian,”

“Percuma juga kamu mengelak, memangnya aku tak suka melihat kau coli sendiri si kamar sambil nonton video porno. Jangan munafik”, Damar masih tertawa.

“Aku tahu kamu menyukai kawan lelakimu, tapi kamu takut semua orang membulimu. Tenang saja Damar…bersama kami, kamu tidak akan dibuli lagi. Kami pun tidak seburuk apa yang sudah orang-orang munafik itu tuduhkan”, “Kamu tidak salah, ayolah hadapi kenyataan, move on

Sejak saat itu Damar menjadi depresi berlebihan, ia drop out dari kampus. Hingga kemudian Julian dan kawan-kawannya mengajaknya bergabung setelah mencelakainya. Pasrahnya ia pada belenggu Julian ia maksudkan sesuatu. Tak dapat dipungkiri bahwa kecelakaan yang menodainya waktu itu tak lepas dari perhatian Julian yang setiap malam mengamatinya menonton blue film. Damar pun selamat dari depresi, namun sembuh di tangan orang-orang yang dulu menyakitinya. Tapi misi ia simpan sendiri, ia terlanjur masuk dalam jaring yang salah, hingga lantas menarik diri dari pergaulan normalnya. Pergi meninggalkan komunitas Aksara yang mempertemukannya dengan seni, juga mempertemukannya dengan Rani. Awalnya, dia optimis akan dapat sembuh karena kebersamaannya dengan Rani, tapi setelah ia tahu bahwa sebagian besar kawan di jaringannya terpapar hiv, kemudian ia mundur perlahan. Memilih untuk tak mengambil risiko atas kehidupan orang lain. Hidupnya akan terus berjalan, dengan atau tanpa Komunitas Aksara, dan juga Rani. Setidaknya ia pun tak mau mengambil risiko dampak yang muncul di kemudian hari akibat traumatik kepada lingkungannya, terutama pasangan hidupnya kelak.

Edelweis yang dulu pernah ia berikan kepada Rani adalah salam perpisahan Damar yang tak pernah sekalipun disadari oleh Rani. Sesudah itu, ia bekerja di sebuah hotel di Malang dan bergiat bersama ikatan komunitas yang dikenalkan oleh Julian. Kehidupan yang baru membuatnya bisa meluapkan emosi terpendamnya melalui korban-korban baru sebagaimana dulu Julian dan kawan-kawannya menjadikannya korban. Ia adalah korban pelecehan seksual yang bangkit, tapi bangkit untuk membalas, melampiaskan pada hidup orang-orang yang telah terlanjur merusaknya.

Dan disini, masih jelas peristiwa dua dekade lebih yang pernah terjadi. Saat Damar ingin menyampaikan kejujuran hatinya pada Rani untuk pergi meninggalkan Aksara dan semua yang membersamainya menemukan dirinya, meskipun pada akhirnya ia kalah dan menyerah pada ujian hidup. Namun saat itu ia tidak siap dengan segala pertanyaan yang mungkin akan lebih banyak berpeluang menghakimi daripada berempati. Maka akhirnya ia betul-betul pergi tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal, kepada siapapun. Dan segala pertanyaan yang kemudian hadir di benak Rani dan kawan seperjuangan Komunitas Aksara terjawab oleh keputusan prasangka baik dan harap doa yang sewajarnya.

“Suamimu bagaimana?”, siang itu di sebuah kantin dekat sekolah Rani.

“Sehat”,

“Aku mau pulang ke Bukittinggi Ran”,

“Mau pergi lagi?” “Hobi banget pergi, seharusnya kamu rahasiakan saja, seperti dulu hehe“, seperti tamparan kecil di pipi tirus Damar.

“Aku sudah tua Ran, sudah cukup perantauanku disini”,

“Kamu betul belum menikah? Jangan bohong deh“,

“Ya Allah Ran, buat apa aku bohong. Aku sudah tidak punya kepentingan, kamu sudah milik orang”,

“Memang dulu aku milik kamu?”, Rani menelengkan kepalanya pada sahabatnya, dulu.

“Ya nggak juga sih“, Damar tersenyum kecut. Salah satu yang ia suka dari Rani adalah sikap apa adanya yang natural tanpa sandiwara.

“Mudah-mudahan Tuhan hadirkan seseorang yang tepat untuk menemani hidupmu”,

“Ammin…”,

Siang itu lebih hangat dari biasanya, teriknya redam oleh angin pegunungan dari arah selatan. Rekan-rekan pengajar Rani telah pamit lebih dulu sekitar satu jam lalu, meski satu dua masih bercengkrama di kantor administrasi.

“Ambillah hikmah perjalanan pernikahanku. Jangan gagal sepertiku”, tampak kerutan kecil bercabang dari dua garis tawa di sekitat bibir wanita berumur itu. Sebuah gurat tempaan hidup yang mendewasakan.

“Bertahanlah Ran, hidupmu sudah sempurna”,

“Iya sempurna sekali”, ia tersenyum miris. “Tapi aku punya hak untuk memilih, sama sepertimu yang bebas memutuskan apa yang terbaik untuk dirimu sendiri”, “Dan kamu pun bebas menghiburku, tapi tidak dengan memintaku kembali berkaca pada cermin yang telah retak”, salah satu karakter menonjol Rani adalah frontal pada hal yang tidak sesuai dengan prinsipnya.

“Sejahat itukah kamu Rani?”,

“Tidak ada toleransi untuk sebuah kepercayaan, sebab cermin yang retak tak akan pernah mampu memantulkan bayangan sempurna. Hidup memang terdengar sedikit kejam untuk sebuah rasa percaya”,

“Nanti mendakilah ke Kerinci bersama Husin, lalu singgahlah di rumahku”, Damar meneguk jeruk hangat di mejanya. “Itupun jika aku masih hidup”, getir kalimatnya.

“Sebelum kembali ke tanah kelahiranmu, kamu betul tidak ingin berbagi kisah pada ‘mantan’ sahabatmu ini, kemana selama dua puluh tahun kemarin?”

“Aku hiv Ran, itu sudah sangat mewakili semua penggal perjalanan hidupku selama dua puluh tahun”, ada sebersit penyesalan yang tampak di sudut matanya.

“Hidupmu sama getirnya dengan hidupku ya..”, keduanya larut dalam angan yang teraduk bersama asam manis kenangan di gelas jeruk berembun beraroma kenanga.

“Dulu aku mengira kita akan berjodoh”, Damar menerawang dan sedetik selanjutnya ia menyadari kalimat bodohnya.

Hmm, lantas? Tak perlu kita bahas masa lalu yang semakin akan menenggelamkan kita pada tak siapnya kita menerima takdir”, Rani mengaduk-aduk jeruk dinginnya yang tersisa seperempat di gelas, sedotan putihnya beberapa kali membelit bunga kenanga sebagai campuran minuman.

“Andai aku masih punya kesempatan memperbaiki hidup kita, sedangkan hidupku sendiri saja teramat kacau”, kalimat demi kalimat tak berguna yang ia sadari terus mengalir bersama jeruk hangatnya yang menyisakan rasa pahit di remahan bijinya.

Dua hati di persimpangan jalan, antara dua jalan berseberangan. Saat seharusnya ia melanjutkan hidup untuk dirinya sendiri, seseorang dari masa lalunya hadir membawa kembali segala yang telah ia tinggal untuk diingat kembali, dikenang sekali lagi. Dan celakanya, dengan rasa yang tidak berubah sama sekali.

Bersambung…