Kenang – Kenanga [32] -selesai-

Sebuah amplop putih berisi dokumen surat penting terselip di jari jemarinya yang kering, ia lupa kapan terakhir kali mengaplikasikan pelembab di permukaan kulitnya. Kulitnya yang dahulu langsat dan selalu lembab, kini mulai terlihat kerutan halus tersebab faktor usia dan ketidakpeduliannya pada tubuhnya belakangan ini. Semestanya kini harus mengorbit pada garis edar manusia lain, dan tentu saja itu adalah suaminya. Ia paham betul bahwa surganya hari ini ada di telapak kaki suaminya. Bukan lagi di bawah baktinya pada kedua orangtuanya.

Rani mewarisi penuh gen mendiang ibunya, bentuk fisik dan hampir sebagian besar sifat bawaan. Bahkan ketika gambar ibunya disanding dengannya bagaikan pinang dibelah dua. Bapaknya seperti melihat reinkarnasi ibunya dengan sempurna, hanya tetap saja ia melihat putri dewasanya itu masih sebagai putri kecil yang ceria dan bergantung penuh padanya saat masa kanaknya. Rani yang hanya mampu nyenyak tidur dalam pelukan Bapak, Rani yang selalu mencemaskan kehadiran Bapaknya saat pembagian rapornya di sekolah, Rani yang lebih manja jika bersama Bapaknya. Seorang bapak adalah pahlawan dan cinta pertama anak perempuannya, dan seorang anak perempuan hampir akan selalu memimpikan untuk memiliki pendamping hidup seperti bapaknya. Bagi sebagian besar wanita, bapaknya adalah jiwa paling ideal untuk dapat menyanding dirinya sebab sosok ideal itu telah diidolakan secara tak sadar di alam bawah sadarnya. Tapi terkadang sosok ideal itu bisa menjadi sangat ideal bagi mereka sehingga mereka menginginkan pasangannya seideal bapaknya yang jelas berbeda dalam segala sisi dan setiap sudut pandang.

Salah satu kesalahan besar yang kerap dapat memicu keretakan hubungan, terutama hubungan pernikahan adalah ekspektasi yang terlalu besar pada pasangan. Persepsi mereka sama dengan apa yang mereka lihat pada orang tua mereka, sebab sewajarnya mereka memang lahir dan dibesarkan dengan nilai-nilai yang ditumbuhkan dalam keluarganya, terutama orang tua. Sehingga konsep yang lebih sering terdengar muluk-muluk dibanding realita yang sebenarnya harus terjadi. Dan barangkali persepsi keidealan itu tak memiliki konsep yang setimpal dengan ekspektasi. Lebih celakanya lagi, hubungan jangka panjang pada sebagian besar orang dibangun tanpa konsep yang matang. Mereka hanya mengandalkan persepsi tanpa ilmu. Padahal persepsi tanpa konsep adalah buta, dan konsep tanpa persepsi adalah hampa. Begitulah akhirnya banyak hubungan jangka panjang yang kemudian harus kandas di tengah jalan karena faktor ketidakcocokan, demikian mereka menyebutnya.

Buru-buru dihardiknya amplop itu ke dasar tas selempang coklatnya. Dia harus hadir mendatangi sidang pertama gugatan cerainya. Pilihan hidup terkadang pahit dibanding tetap memilih pada zona yang dianggap aman oleh sebagian besar orang. Hanya sebagian kecil yang berani mengambil tindakan besar yang berisiko. Setelah berulang kali mencoba bertahan dan mengupayakan lembaran baru bersama suaminya, akhirnya ia memutuskan untuk datang ke pengadilan agama demi sebuah amplop putih berisi jadwal sidang pertama panggung perpisahan dengan suaminya.

Ia tiba di sebuah rumah konvensional bercat putih agak kusam dengan kursi di teras milik keluarga Damar yang merawatnya selama ini. Seseorang duduk di salah satu kursi kuno bersenar hijau lumut. Dari kejauhan tampak wajah cemas dan penasaran kenapa wanita itu tiba-tiba ingin datang menjenguknya. Sembari melapaskan alas kaki ia memberi isyarat akan menemui Tuan rumah, namun ternyata Paman Bibi Damar sedang pergi. Dari sekilas carita Damar, Nang Uda-sebutan untuk pamannya- membuka restoran sejak lama, bahkan sebelum mereka kenal dan bertemu terakhir kali di Wonosari Malang ketika itu. Pantas saja saat itu Damar langsung menghilang dari peredarannya di Bogor.

“Sudah lebih sehat?”

“Sesehat apapun aku tetap sakit Ran”,

Ruas jalan yang memotong di depan rumah itu lengang, sesekali kendaraan beroda dua lewat. Beberapa kawanan anak usia sekolah dasar saling berkejaran dan hilir mudik bermain dengan canda tawa lepas tanpa takut kendaraan tiba-tiba muncul di kelokan jalan.

“Dek, hati-hati ada mobil lewat”, Damar menegur kawanan anak laki-laki tujuh orang dengan dua anak yang sangat vokal unjuk suara sopran dan mezzo sopran. Tampak dari lokasi mereka bergerombol di atas sepeda radius lima puluhan meter mobil silver berjalan lambat menghindari dan menunggu kawanan bocah itu berlalu.

“Aku ingat dulu hampir enam bulan bersepeda setiap hari. Manis ya kalo ingat masa lalu”, Rani mengenang sahabat-sahabat lamanya, Rakim, Adi, Iwan, Nisa dan Sahrul. Sekilas rindu membuat desiran kecil di hatinya.

“Kasian sekali cuma enam bulan. Masa kecilku sebelum merantau ke Jawa, aku pesepeda handal, 20 km ke Danau Maninjau, setiap minggu”, Damar mengenang masa kecilnya di tanah kelahirannya yang damai. Cerita tentang Danau Maninjau teruarai dari mulutnya tanpa diminta.

Danau Maninjau memiliki pemandangan yang sangat indah. Airnya jernih bak cermin, dikelilingi hamparan perbukitan hijau. Hamparan air terlihat berwarna biru dari kejauhan. Berombak kecil tenang dan membuat hati terasa nyaman. Mengunjunginya di ujung hari akhir pekan membuat semua beban pikiran seakan menghilang. Benar-benar tempat yang paling cocok untuk menikmati kesendirian atau menikmati alam bersama orang-orang tersayang. Pepohonan hijau berderet dan berjajar mengelilingi hamparan birunya. Danau, gunung, pohon, dan nyanyian burung-burung yang membawa melodi-melodi indah. Kesegaran airnya tidak hanya sejuk terasa di mata, tapi menenangkan hati. Tetap terasa kesejukannya meski terik matahari menyengat di ubun-ubun kepala. Secuil keindahan surga yang sengaja Tuhan tampakkan di dunia.

Cerita-cerita tentang perjalanan panjang masa lalu seperti ia tuangkan secawan demi secawan.

“Tahun berapa kamu mengunjungi Kelud?”

“Sekitar sepuluh tahun lalu,”

“Aku juga disana sepuluh tahun lalu,” keterkejutan kecil menyelimuti kedua kawan lama yang dipertemukan oleh takdir, hampir terlambat tapi tidak.

Saat itu Damar bertemu dengan Rakim, dan mereka berteman lebih dari sekadar teman. Bahkan jika dan andaikata Tuhan merestui cinta antara dia dengan Rakim, maka apakah manusia akan merestui cinta mereka?. Dia tidak tahu rasa macam apa yang tumbuh di hatinya sejak kecil, saat ia menyukai Roni kawan sekelasnya semasa sekolah dasar. Dia pikir rasa itu akan hilang ketika bulu-bulu halus di atas bibirnya mulai tumbuh, saat suatu malam ia pernah bermimpi panjang hingga membuat kasurnya basah. Mimpinya masih membawa Roni mengunjunginya kembali. Tapi karena Roni melanjutkan sekolah di luar kota mereka, ia optimis akan bertemu cinta baru yang semestinya. Nyatanya, ia lebih nyaman bersama sahabat-sahabat prianya dibandingkan dengan para gadis cantik yang seringkali terang-terangan mendekatinya. Alih-alih bangga dan memanfaatkan kesempatan baik yang diidamkan para playboy, dia justru risih dengan sikap para gadis yang kasmaran dan menggodanya. Paras Damar yang rupawan memang menjadi gula bagi semut-semut betina di sekitarnya.

“Kamu tiba-tiba datang. Ada yang bisa kubantu?”, Damar mengutarakan rasa penasaran.

“Seperti kamu dulu, yang tiba-tiba pergi. Tentu ada hal besar yang terjadi”, Rani berhasil menghentakkan jawaban tepat di lubang besar hitam di hati Damar.

“Aku minta maaf, Ran”, pandangan Damar jatuh di kuku-kaku jarinya yang berwarna pucat kecoklatan di tepinya.

“Tak perlu minta maaf sekali lagi, andaikata waktu itu kamu tidak pergi, mungkin aku yang akan meninggalkanmu”, sesungging senyum samar menghiasi bibir kecoklatan berbalut lipstik warna nude tipis.

“Memang tidak akan pernah ada orang yang akan menerimaku dengan tulus, bahkan keluargaku saja masih enggan menerima keadaanku dengan ikhlas”, ia sibuk menggigiti kutikula di ujung-ujung kukunya.

“Tapi jika ada orang yang bersedia menerimamu setelah melihat semua keadaanmu, apakah kamu mau menerimanya?”,

“Maksudmu setelah aku hiv-aids seperti ini?”, bicaranya terjeda beberapa jenak. “Mungkin bukan menerima keadaanku, tapi kasihan melihat kondisiku”, “Memang aku pantas dikasihani”

“Damar, aku ingin berpisah dari suamiku”, pandangan Rani jatuh di lantai marmer putih, semut-semut hitam berbaris panjang menuju lubang kecil di celah lantai.

“Maksudmu?”, Damar sedikit terkejut.

“Iya, aku ingin cerai”.

Damar menghela nafas panjang, memberi validasi pada pikirannya bahwa dia bukan salah satu penyebab bagi keinginan Rani berpisah dari suaminya.

“Ceritanya panjang dan lumayan rumit. Setiap kali aku mengulur benang kusutnya selalu kembali pada simpul-simpul mati yang tak ada ujungnya. Setiap kembali pada kerumitan, mau tak mau aku harus bersiap pada simpul rumit selanjutnya”, kalimatnya menggantung.

“Maksudmu apa Ran? Jika memang kamu mau cerita ceritalah. Tapi dari awal aku tegaskan mungkin aku tidak bisa membantu banyak kecuali hanya sekedar memberi telinga untuk mendengarkan”,

“Asal kamu tahu, wanita bisa memberikan hatinya kepada seseorang yang bersedia memberikan telinga untuk mendengarkannya”,

“Ah Rani, jangan menggodaku”, Damar tergelak kecil. “Kamu masih suka menulis puisi?”,

“Kamu tidak berusaha mengalihkan pembicaraan bukan?”, Rani tergelak kecil. “Hmm, aku hanya menulis ketika tidak ada satupun telinga yang sudi mendengarku”,

“Jadi maksudmu kamu ingin berpisah hanya karena suamimu tidak memberimu telinga, begitu?”,

“Ah, kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan!”.

Jika diibaratkan sebuah buku, sepertiga pikiran wanita memang rumit, sisanya adalah lembaran-lembaran kosong yang jauh lebih tidak dapat dimengerti, namun mereka justru lebih banyak ingin dimengerti. Maka alih-alih berusaha menulis di dalamnya, cukup menunggu sampai mereka selesai menuliskan apa yang ingin mereka tuliskan.

“Ceritalah Ran, dari dulu aku tetap siap jadi tempat sampahmu. Dulu mungkin aku ceroboh karena sering melibatkan hati, tapi hari ini hatiku tidak akan ikut campur pada masalahmu”,

“Menurutmu, sampai pada titik apa aku harus mempertahankan pernikahan?”

“Ya tentu saja sampai titik terkuatmu bertahan. Kata orang bijak, bertahanlah pada bagaimanapun kondisi pernikahan kecuali pada kondisi kehadiran orang ketiga. ….hmm tapi…”,

“Tapi apa?”, Rani memburunya.

“Tapi aku kurang setuju. Sebab sebaik apapun orang ketiga yang hadir dalam pernikahan, dia tetaplah orang ketiga, yang sejatinya adalah pelarian, manusia tetap akan pulang ke rumahnya, tempat yang bukan pelariannya”,

“Logika siapa itu?”,

“Logikaku sendiri”,

“Logika orang yang bahkan belum pernah menikah”, Rani tertawa, tak terima dengan kesimpulan pragmatis itu.

“Laki-laki itu mudah meninggalkan, tapi ia mudah kembali. Karena laki-laki akan selalu mencari rumah, maka wanita paling beruntung adalah wanita yang bisa menjadi rumah ternyaman bagi lelakinya”, “Di luar konteks aku membela kaum laki-laki, puluhan tahun aku memahami dan dipahami oleh laki-laki, aku tak mengerti dunia perempuan, karena aku memang tak tertarik dengan dunia mereka. Sejak mengenalmu dulu aku hampir berusaha memahami, tapi nyatanya aku selalu kembali ke rumahku, tempat yang menurutku nyaman untuk diriku sendiri, dengan segala pandangan tak suka dan stereotip negatif orang. Maka ini juga menjawab kenapa dulu aku tak meneruskan ketertarikanku padamu Ran, aku takut suatu saat akan menyakitimu. Maka biarlah aku yang menerima karmaku sendiri”, matanya menerawang jauh mengurai kenangan-kenangan yang terserak di gundukan peristiwa-peristiwa masa lalu.

Sesak dan gamang hati Rani saat menerima surat panggilan sidang perceraiannya berubah dengan gerimis yang mengguyur hati hingga tumpah di pelupuk matanya.

“Sudah sejauh mana kamu berniat mengakhiri hubungan kalian? Apa dia setuju dengan perpisahan?”

“Dari yang aku lihat, justru dia akan bahagia dengan perpisahan ini”, Rani menjawab sekenanya, dengan guratan emosi sewajarnya.

“Hubungan itu tentang situasi Ran. Mungkin kita terlalu sibuk melihat, sehingga kita lupa menyentuh. Atau kita terlalu sibuk menyentuh, sehingga lupa melihat”.

“Apakah kamu mencintainya?”, Damar mencoba mencari jawab di ujung mata Rani, berusaha menemukan kejujuran untuk mengantisipasi kebohongan jawaban atas pertanyaan ambigu tersebut.

“Aku tidak tahu hari ini aku mencintainya atau tidak. Yang aku tahu selama ini tetap bertahan di sisinya, karena Tuhan. Seperti pertama kali aku memutuskan memilihnya, aku berjanji bahwa segala dasar dan alasan dalam memilihnya adalah karena Tuhan, dan aku harus pegang janji itu apapun yang terjadi. Persetan dengan cinta!”,

“Lantas?” “Kamu bukan tipe orang yang mudah ingkar janji lho“,

“Katamu hubungan itu tentang situasi, kali ini situasinya sudah berbeda”, Rani membela pendiriannya.

“Dia ingkar pada janjinya pada Tuhan, janji pernikahan kami. Jika aku pernah sakit karenanya, mungkin aku sudah memaafkan. Entahlah jika situasi berbalik, aku yang menyakitinya apakah dia akan memaafkanku? Aku rasa tidak. Maka demi janjiku pada Tuhan, datang dan pergiku pun karena Tuhan”, keyakinannya terpancar jelas di matanya, kali ini bibirnya tidak membohongi matanya.

“Kamu wanita kuat Ran, seharusnya ia bersyukur mendapatkanmu”,

“Tak perlu menyanjungku, aku hanya butuh telinga hari ini”,

“Laki-laki tidak suka menyanjung, jika ia menyanjung kemungkinannya ada dua, dia berbohong, atau dia sedang menutupi sesuatu. Justru aku heran kenapa hari ini kamu selemah ini?”,

“Sabar itu ada batasnya bukan?!”,

“Semakin batas itu ada, semakin besar peluang kita melanggar batas. Sabar pun bisa melampaui batasnya”,

Bullshit dengan kalimat omong kosong itu!”,

“Ya Allah Ran, bersyukur kamu diberi masalah, ini bukti Tuhan ingin menunjukkan bahwa Dia memperhatikanmu. Aku bersyukur hari ini masih diulur umurku oleh Tuhan. Puluhan tahun aku hidup seperti tersesat. Andaikata saat itu aku mati, entah penyesalan macam apa yang harus aku tangisi di alam kubur. Aku baru betul-betul menyadari bahwa apapun yang berlaku di sisa umurku bisa jadi Tuhan membayar semua karmaku untuk menghapus lumpur-lumpur hidupku. Andaikata taubatku hari ini belum cukup untuk menghapusnya, maka biarlah nanti aku masuk neraka bersama sajadahku, akan kulanjutkan taubatku di neraka”, ada yang menggenang di pelupuk mata lelaki kurus itu, namun perlahan-lahan menyusut seakan dihisap oleh pusaran hatinya yang besar.

“Andai dulu takdir kita bersama”, Rani tersenyum, bercanda.

“Maka mungkin keadaanya akan jauh lebih buruk dari hari ini. Biarkan aku yang menjadi pelajaran hidupmu hari ini. Aku sudah cukup bahagia kamu sehat dan menjalani kehidupanmu hari ini, yang tentu tidak menanggung aib hidup yang besar sepertiku. Tuhan masih melihatku, masih memberiku kesempatan untuk kembali”,

Sendu pertemuan mereka, sesendu senja beberapa tahun lalu saat mereka berpisah, hingga akhirnya kembali bertemu di titik waktu yang tak terduga.

“Aku sudah mengajukan gugatan ke pengadilan”,

Damar tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

“Bertahun-tahun aku meramal baik pertemuan kita, hingga akhirnya aku kubur semua harapan dan berkali-kali membuka pintu hati, tapi nyatanya semua yang hadir dalam hidupku memilih untuk selalu pergi. Tak pernah ada yang betul-betul rela tinggal disana, kecuali Tuhan. Berkali-kali aku bertemu pada cinta yang kuanggap adalah pelabuhan, namun nyatanya kegagalan demi kegagalan memintaku untuk tak pernah berharap pada siapapun kecuali kepada Tuhan. Dan semua itu baru aku sadari setelah aku bertemu dengan orang yang dengan sukarela menukarkan telinganya untuk hati seorang wanita. Aku mau belajar hidup darimu, maukah jadi guruku?”, kalimat Rani sebenarnya masih menggantung.

“Apa kamu tidak mau menikah?”, kalimat Rani berujung pada pertanyaan sulit.

“Semua manusia ingin hidupnya normal, baik-baik saja. Menjalani kehidupan seperti halnya manusia normal lainnya. Melakukan tugasnya sebagai manusia biasa pada umumnya, di lingkungan kenormalannya. Tapi nyatanya aku ada di luar lingkaran itu. Tak pernah ada manusia yang toleran secara sukarela pada pada hal yang tidak biasa, pada kondisi yang berbeda dengan mereka”,

“Jika, aku menawarkan diriku secara sukarela menjadi istrimu, bagaimana?”, kalimat itu teruai di antara ungkapan hati yang tulus dan canda parabola seorang kawan lama yang terjebak pada cinta lama bersemi kembali. Ia tidak peduli pada bagaimanapun situasi selanjutnya, pada bagaimanapun responnya. Dia hanya sekadar meluahkan apa yang berjejalan di hatinya, tanpa dipertimbangkan lagi oleh akalnya.

“Ran.. “, jeda selanjutnya adalah detik demi detik yang terasa panjang untuk dinanti.

“Aku menyayangimu, Ran. Sebagai sahabatku, sebagai orang yang menginginkanku dengan rela, setelah tahu semua luka dan cacat dalam hidupku. Aku tak peduli itu kalimat basa-basi atau sesungguhnya. Jika mau, aku dari dulu bisa saja memilikimu, menjadikanmu istriku yang tentu saja sudah kutimbang dengan sangat matang hingga akhirnya aku pergi dari kehidupanmu. Semua tak akan sama jika akhirnya kita memilih hidup bersama. Maka karena aku menyayangimu, jalanilah kehidupanmu sendiri dengan sebaik-baiknya”, sendu di hati Rani menjelma gerimis, “Aku belum selesai dengan diriku sendiri. Aku tidak mau ada orang lain yang terkorbankan hidupnya hanya karena harus membantuku menyelesaikan masalah hidupku. Biarlah cinta yang mungkin pernah ada di antara kita menjadi bukti bahwa cinta itu memang tidak selalu harus saling memiliki”,

“Aku mau pulang ke Bukittinggi, Ran. Kapan-kapan jika kamu butuh refreshing, bersama suamimu, kita bisa ngopi bersama di warung Bibiku dekat Maninjau”

“Tidak pernah ada perpisahan yang baik-baik saja, meskipun setelahnya bisa jadi semua akan menjadi lebih baik. Jika memang kamu harus pergi dari suamimu, maka ingatlah bahwa manusia itu hamba Tuhan. Dia senantiasa akan menguji kita dimanapaun dan dengan siapapun. Seusai kau pergi dari ujian ini, selalu akan ada ujian di tempat lain. Tetap bersama suamimu atau berpisah dari suamimu kamu selalu akan bertemu pada ujian Tuhan. Sebab hanya lewat ujian Dia tahu hamba mana yang merumahkan hatinya untuk-Nya”, Sebuah nasehat yang dicatat dengan tinta emas di hati wanita yang sebenarnya diingankannya dan menginginkannya.

Langit biru bersih, tanpa awan barang sejumput pun. Kosong. Angin bertiup lembut, udara Kota Malang yang dingin terasa hangat. Terminal semakin siang semakin ramai, pedagang asongan yang selalu saja kembali meski kerap digusur petugas program penertiban umum. Begitulah sebagian besar manusia, keras kepala.

Ia tiba di sebuah gapura besar universitas ternama di Kota Malang, sebuah kampus yang mendapat peringkat terbaik pertama tingkat nasional dari Kementerian Pendidikan Tinggi Indonesia. Kampus tempat suaminya mengabdi, kampus yang dicintai suaminya, kampus dimana suaminya bertemu wanita lain dalam kehidupan rumahtangganya. Ujian memang seringkali datang pada hal-hal yang dicintai dan dipertahankan manusia.

Langkah kakinya berhenti di pelataran masjid besar berwarna putih, kontras dengan warna langit. Beberapa mahasiswa berkerumun di beberapa sudut, membahas tugas kuliah, membicarakan dosen yang mahal nilai, dan sekilas terdengar berkelakar tentang pertemuan pacar mereka dan ibu kos yang galak luar biasa. Hidup mereka sesederhana tugas kuliah dan hubungan percintaan semu yang putus-sambung. Masalah mereka adalah terlambatnya kiriman dana dari orang tua, pesan gawai yang tak kunjung dibalas oleh dosennya, dan perihal jemuran kering di loteng kamar kos yang kembali basah setelah digeser tempatnya oleh tetangga sebelah.

Bangunan masjid lima lantai ini sejuk, ia naik ke lantai tiga, karena lantai satu dan dua adalah ruangan aktifitas mahasiswa dengan berbagai kegiatan. Kabarnya bangunan masjid itu adalah masjid kampus terbesar di Asia Tenggara yang ditopang dengan 81 tiang kokoh. Bahkan, Husin sempat bercerita pada Rani bahwa bangunan masjid itu tetap kokoh meski pernah beberapa kali diguncang gempa. Di dalam masjid terhampar karpet merah empuk dan halus.

Suara adzan terdengar dari pengeras suara masjid, menggema di setiap sudut masjid, gedung fakultas, dan menggaung di dinding jembatan yang membelah danau tenang di area utama lingkungan kampus. Masjid putih itu berdiri megah di atas hulu Sungai Brantas. Gemericik aliran airnya terdengar dari dalam masjid. Suasana yang nyaman seperti merasakan percikan pemandangan surgawi dimana bangunan-bangunannya mengalir di atas mata air-mata air yang mengalir. Sungai Brantas memang berada tepat di belakang masjid, sedangkan di bagian depan berhadapan langsung dengan jalan raya. Posisi yang berdekatan dengan jalan raya ini membuat Rani refleks singgah mencari damai pada hatinya yang gusar.

Semangat modernitas kebudayaan Jawa, Arab, dan modern sangat menonjol pada penampilan arsitektur masjid itu. Terlihat cungku pada ujung setiap kubah adalah simbol dari kebudayaan Jawa. Ornamen dan pilar dengan gaya modern. Pilar yang gagah perkasa dengan hiasan kaligrafi indah di setiap ujungnya, memanjang mengitari dinding atas. Kubah dengan ornamen buah dan daun menghadirkan kesejukan mata yang memandang. Di bagian depan, mimbar jati berukiran khas Jepara dengan gapura yang melengkung indah.

Pada lengkung gapura bertuliskan ayat Alqur’an Al-Mujaadillah ayat 11: yarfa’i allaahu alladziina aamanuu minkum waalladziina uutuu al’ilma darajaatin waallaahu bimaa ta’maluuna khabiirun. Bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sedangkan di dinding belakang gapura tertulis Surah at-Taubah ayat 18: innamaa ya’muru masaajida allaahi man aamana biallaahi waalyawmi al-aakhiri wa-aqaama alshshalaata waaataa alzzakaata walam yakhsya illaa allaaha fa’asaa ulaa-ika an yakuunuu mina almuhtadiina. Bahwa hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang- orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Jendela kecil masjid didesain agar cahaya di dalam masjid mencukupi dengan material kaca. Sedangkan di bawah kubah yang berdiameter kurang lebih 25 meter terdapat banyak jendela kecil yang melingkari kubah. Masjid yang cukup luas sehingga andaikata ia dan Husin hadir bersama disana di waktu bersamaan kecil kemungkinan mereka bertemu, sebab ruangan yang bisa menampung kurang lebih 5.500 jamaah ini memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan. Suara iqomah dari menara masjid membuat masjid ini semakin ramai oleh para mahasiswa yang sedang beristirahat dan pengunjung yang sebatas singgah sholat. Rani buru-buru mengambil mukena di deretan lemari yang tersusun di ujung barisan.

Kegundahannya beberapa hari belakangan sedikit terurai, setelah ia bertemu Damar dan menyelesaikan sisa tangisnya hampir tiga jam di masjid. Sesampainya di rumah, ia terburu-buru menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih tersisa, mandi kemudian mengatur nafas di depan cermin. Ia berdoa agar semua hal yang telah ia pertimbangkan menjadi keputusan terbaik untuk kehidupannya, dan kehidupan suaminya. Menyemogakan hal yang paling positif dan segera membuka tas untuk mengeksekusi dokumen yang akan menentukan kelanjutan hidup mereka. Namun betapa terkejutnya ia saat seluruh isi tas ia keluarkan tak bertemu amplop putih yang ia simpan. Ia panik, mengingat kejadian yang ia lewatkan dalam sehari. Ia yakin sudah memasukkan kembali amplop itu di tas, namun nihil ia bongkar berulang kali seluruh isi tasnya.

“Apa tertinggal di masjid?”, monolog Rani yang sebenarnya diamini oleh mesin waktu. Ia merasa sama sekali tak mengeluarkan amplop itu dari tas sejak melepas alas kaki sampai berwudhu dan masuk masjid siang tadi. Ia tak mengingat apapun tentang amplop putih itu, ia hanya ingat sibuk mengamati arsitektur dan ornamen masjid, lalu tenggelam dalam doa sampai adzan berkumandang kembali.

Sejatinya ia telah mengurungkan niatnya hadir dalam sidang perceraian. Semua nasehat Damar memberinya pertimbangan untuk membatalkan rencana perpisahannya. Ia masih punya sahabat, yang peduli dan tidak selalu mengiyakan semua rencananya, tapi mengajaknya berpikir dan mencari hikmah di sebalik peristiwa yang terjadi. Ia akan memilih untuk tetap bertahan, dengan segala konsekuensi yang ada, dengan segala sakit yang akan ia nikmati sepanjang hidupnya. Beberapa rasa sakit memang dapat sembuh oleh waktu, namun banyak pula rasa sakit yang tidak pernah sembuh dan memilih bersahabat dengan pemilik luka. Membuka tangan dan menerima baik-buruk takdir yang ditulis Tuhan, rela tak rela, ikhlas tak ikhlas. Sebab manusia memang selalu akan berjalan pada garis edar Tuhan, bukan berjalan pada garis edarnya sendiri. Takdir berlaku sesuai ekspektasi Tuhan, bukan ekspektasi mereka sendiri. Pada apapun yang terjadi di kemudian hari, biar saja Tuhan yang menyempurnakan jalan ceritanya. Sekali lagi.

Ia akan menerima Husin kembali, jika ia masih menganggapnya sebagai rumahnya. Ia akan menjadi tempat terakhir bagaimanapun rumitnya perjalanan. Sebab manusia memang makhluk yang kelak harus pulang juga, ke haribaan Tuhannya. Ia hanya sedang dititipi Tuhan se-nyawa yang masih juga belum menemukan rumahnya. Ia akan membakar surat gugatan dan panggilan sidangnya, menjadikannya abu dan menaburkannya di tanah sebagai pelajaran yang harus ia ingat dan cerita perjalanan yang menjadikannya kuat.

Tak perlu berupaya melupakan kenangan pahit. Sebab otak manusia bekerja sebaliknya, organ kanan menghubungkan koordinasi otak kiri, organ kiri menghubungkan koordinasi otak kanan. Semakin kita berupaya keras untuk melupakan, maka justru akan semakin jelas dalam ingatan. So, take it easy, just let it flow.

*****

Husin membenamkan semua masalahnya di atas karpet merah wangi masjid, terpekur pada semua keputusan yang ia sadari kekuatannya berasal dari Tuhan. Ia telah memutuskan semua hal yang selama ini memberatkan langkahnya. Setelah tiga penelitian bersamaan yang sudah ia selesaikan bersama timnya, juga posisinya sebagai salah satu pejabat struktural di fakuktas, termasuk segala yang pernah terjadi antara dia dan Dinda yang juga telah selesai dengan tugas akhirnya. Surat tugas baru dari sebuah kampus kecil yang belum lama berdiri ia simpan baik-baik di tasnya. Surat pengunduran dirinya dari kampus yang menjadi darah kerjanya, dan menjadi daging pengabdiannya ada di meja kerjanya sejak tiga hari lalu. Ia masih menunggu waktu yang tepat untuk meninggalkan ini semua, beberapa kali pertimbangan yang kemudian membuat ia yakin melangkah.

“Din, tugas akhirmu sudah selesai. Kejarlah mimpimu, kejarlah cita dan cintamu. Semoga Tuhan memberikan segala yang terbaik yang kamu butuhkan. Aku akan mendoakan segala hal terbaik, dan doakanlah aku semoga lebih baik dengan segala keputusan yang akan kuambil setelah ini”, “Semoga Tuhan mengampuni kita, dan menerima kita kembali sebagai hamba yang ingin kembali”, semalam setelah Dinda mendaftarkan diri pada petugas acara yudisium, mereka bertemu di ruangan Husin.

“Maksud Bapak?”, Dinda mencoba mencerna kalimat yang sebenarnya mudah dicerna.

“Aku sudah memutuskan semua dengan pertimbangan panjang. Aku akan kembali pada istriku. Mari kita akhiri hubungan kita sampai disini. Semoga setelah ini, kita menjadi manusia yang jauh lebih baik. Aku akan pindah dari pekerjaanku disini, dan mencari life-circle yang baru”, tegas seolah tanpa dosa. Di waktu yang sama, beban berat yang menghimpit dadanya seakan dilepaskan.

“Hah..kamu sedang bercanda atau serius?”, dalam situasi ini ia hilang logika, bahasanya pun berubah.

“Aku serius. Aku akan mencoba memperbaiki yang telah rusak dalam hidupku”,

“Egois sekali! Setelah semua yang anda lakukan pada saya, setelah semua yang pernah kita lakukan, setelah anda mengambil semuanya dari saya, anda ingin pamit?!”, merah matanya, mendidih hatinya, semendidih istri Husin saat ia hadir dalam kehidupan Husin dan Rani.

“Din.., dengarkan aku dulu”, Husin mencoba mengambil tangan Dinda namun dengan gerakan cepat berhasil ditepis oleh perempuan di hadapannya.

“Baik. Semoga semua doamu didengar Tuhan. Kembalilah pada Tuhan. Semoga Tuhan masih sudi menerimamu”,

“Maafkan aku Dinda”, Husin menunduk, betul-betul menyesal.

“Aku bisa memaafkan, tapi selamanya aku tidak akan pernah bisa melupakan. Terimakasih sudah menikmatiku lalu membuangku. Selamat tinggal!”, gerakan kakinya cepat melintasi lorong fakultas, berbelok menuruni tangga, mengenyahkan semua tatapan teman-teman yang mencoba menyapanya, tergesa-gesa menyusuri jembatan putih.

Ia hampir hilang akal, emosi menggelapkan seluruh pikiran jernihnya, membungkam kesadarannya, menghilangkan ketenangannya dan menutup habis jalan pembelaan dan pembenaran. Bahkan ia belum sempat sama sekali mengatakan yang sesunggunya bahwa ia tengah mengandung benih Husin yang selama ini Husin tak pernah dapatkan hadir di rahim istrinya. Ia berharap banyak pada perpisahan Husin dan istrinya, dan jikapun mereka tidak berpisah ia akan rela menjadi yang kedua di antara mereka, dengan atau tanpa kerelaan istrinya. Ia terlanjur menyerahkan semua pada Husin, ia terlanjur memasrahkan kekanakannya pada sikap dewasa Husin dalam segala masalah, ia terlanjur memberikan semua waktu dan harapannya pada lelaki yang ia anggap akan menjadi pelindungnya.

Dinda tergugu di sebuah bangku panjang dekat apotek. Jalanan sedikit lengang, sesekali ramai lancar, agak bising oleh suara mesin dari sebuah bengkel disamping tempat dimana ia terpaku, gusar dan betul-betul buntu di semua arah. Pilihannya adalah antara melenyapkan benih yang dikandungnya atau menyerahkan dirinya pada nasib yang akan meminta tanggung jawabnya, sebab tanggung jawab yang seharusnya ia terima tak berhasil ia dapatkan.

Nasib buruk hari ini telah menimpanya. Ia menyesal dengan penolakannya pada Sandi dulu yang berniat melamarnya saat mereka menginjak semester empat, dengan alasan ia tak siap dengan segala ketidakmampuan kawan sekelasnya itu dalam finansial. Ia juga sempat menolak lamaran putra kawan dekat ibunya sebab tak mau seperti Siti Nurbaya yang berantakan rumahtangganya karena perjodohan, dan yang terakhir ia putuskan pacarnya yang menginginkan keperawanannya padahal sesudah itu dengan sukarela ia berikan kepada Husin. Dengan semua ekspektasi baik tentang Husin, dengan segala perhatiannya, segala pengertiannya, segala bimbingannya, segala pemaklumannya, segala perannya sebagai dosen sekaligus ayah dan kekasih baginya, dan segala permainan cintanya yang selalu berhasil membangkitkan hasrat, membakar gairahnya dan menyisakan candu yang memabukkan. Ia menginginkan Husin, jiwa-raganya, darah-dagingnya, hasrat-tubuhnya, hati dan pikirannya, dan semua yang membuatnya mabuk dan rela mempersembahkan rahimnya menjadi ladang Husin bercocok tanam hingga tumbuhlah janin kecil dalam rahimnya. Barangkali Husin adalah seseorang yang memang dikirim Tuhan untuk menikahi jiwa raganya, jodoh yang tepat untuknya sehingga buah cinta tumbuh bersemai di dalam tubuhnya. Namun hari ini, orang yang sangat diinginkannya tak lagi menginginkannya. Ia hancur, berkeping.

Dinda tak bisa menahan Husin untuk tetap berada di sisinya, pun tak bisa juga menyingkirkan Rani dalam hubungan mereka. Karena ia, hanyalah orang ketiga. Husin bukan jodohnya, ternyata Husin bukanlah orang yang tepat untuknya. Dinda kalut, ia tak tahu harus berbuat apa. Di ujung jalan melaju kencang bus patas putih berkecepatan tinggi. Bus melaju kencang di tengah jalan lengang, tak butuh waktu lama sejurus kemudian tubuhnya beradu pada kepala bus.

Brukkkk !!!! Supir bus, kondektur, penumpang, montir bengkel, petugas apoteker, pembeli obat, pedagang asongan, pejalan kaki, pengemudi mobil, pengemudi motor, semua terkejut. Seonggok tubuh bersimbah darah tergeletak 50 meter dari bus. Tubuhnya terpental dan jatuh mengenai aspal jalan dengan keras. Detik seketika berhenti.

Setalah melatakkan beban pikirannya di sujud panjang, menumpahkan air mata sampai ke dasar-dasarnya, mengutuki ketaksadarannya di masa lalu, meminta tolong pada Tuhan agar menyelamatkan dia dari lumpur hidup dosa yang menyedot habis seluruh kebaikannya. Yang tersisa hanyalah penyesalan sedalam yang dapat ia tebus andai saja dapat ia tebus di dunia. Perjumpaannya pada Rakim beberapa hari lalu membangunkan kesadaran pada kegagalannya, pada ikhtiar yang masih harus ia upayakan. Bahwa salah satu tugas utama laki-laki di dunia adalah memimpin keluarganya.

“Kamu yakin akan meninggalkan Rani? Aku mengenalnya lama, lebih lama dari kamu. Sejauh yang aku tahu, dia adalah wanita yang tumbuh dari banyak derita. Tiga kali dia gagal menikah, pertama ia ditinggalkan tanpa penjelasan, yang kedua calon suaminya meninggal, dan hampir saja aku maju, tapi aku mengurungkan niatku karena menilai kamu lebih mapan dan lebih matang dariku. Dan hari ini kamu adalah lelaki yang ditakdirkan Tuhan berada di sampingnya. Kematangannya seperti kerang yang memunculkan mutiara dari pasir-pasir pengalaman hidupnya”, “Mungkin kamu belum melihat kilaunya, tapi ingatlah, mutiara itu hanya dapat ditemukan setelah menyelam cukup panjang dan dalam”, Rakim sengaja singgah mengunjungi Husin setalah sekian tahun tak berjumpa, dia sedang bertugas di Malang selama beberapa hari.

“Keindahan yang kamu temukan pada wanita lain kelak akan kamu temukan pada istrimu. Sama seperti halnya keburukan yang kamu temukan pada istrimu kelak juga akan kamu temukan pada wanita yang kamu anggap lebih baik dari istrimu itu. Sebab untuk menemukan sesuatu terkadang memang butuh waktu”,

“Tidak pernah ada di dunia ini yang betul-betul tepat dalam menemukan jodohnya. Sebab jodoh itu ketetapan, bukan ketepatan”, siapa sangka kalimat pamungkas Rakim sebelum akhirnya ia pamit terbang ke Pulau Sulawesi mampu mendobrak hati bebal Husin dan membangunkannya dari lalai yang melenakan.

Husin duduk berselonjor di pelataran masjid, dan melihat kertas putih tebal terserak dua meter di samping kanannya. Ia pikir sampah, ia berniat membuangnya ke tempat sampah namun ternyata kertas putih yang ternyata amplop itu terdapat logo stempel sehingga ia penasaran membukanya. Barangkali milik seseorang yang tidak sengaja terjatuh. Sebuah ampop berisi surat resmi dari Pengadilan Agama. Dan betapa terkejutnya Husin mengetahui baris kalimat selanjutnya.

Deg!.

“Jangan biarkan dia pergi. Wanita akan berpikir ribuan kali untuk pergi, namun sekalinya memutuskan pergi ia tak akan pernah kembali”, kalimat Rakim terngiang-ngiang di telinganya.

Sementara tak jauh dari tempat ia terkejut, koleganya di fakultas berlari kecil ke arahnya, tergopoh-gopoh menghampirinya.

“Pak Husin, ada kecelakaan di depan, korbannya mahasiswi anggota tim riset Bapak. Yang kecil cantik itu, saya lupa namanya”, terlihat ramai beberapa mahasiswa bergerombol menuju lokasi kecelakaan.

Husin seketika berjalan ke arah kerumunan mahasiswa yang berjalan mendekati lokasi kejadian. Wajah Rani dan Dinda bergantian memenuhi kepalanya. Sedangkan hatinya memohon pertolongan Tuhan, merapal kalimat permohonan ampunan, dan berharap pada hal baik yang masih Tuhan sisakan. Untuknya dan untuk mereka.

.Selesai.

Ufuk barat Bogor, 2 Juli 2020, 22:07 WIB. Bersama Tu[h]anku.