0

Bisik bising [26]

Betapa bahagianya Husin ketika mendapati istrinya tengah mengandung benihnya. Beku sikapnya berubah drastis berganti kehangatan. Dikecupnya kening istrinya, dipeluknya tubuh istrinya lama, dengan air mata kebahagiaan yang meluap-luap. Kebahagiaannya melebihi kebahagiaan saat Husin pertama kali menyambut tangannya setelah akad.

Hidup memang adalah kumpulan cuplikan episode menunggu. Sembilan bulan menunggu dilahirkan, enam bulan menunggu dilumatkan makanan, setahun menunggu langkah pertama. Enam tahun menunggu di bangku sekolah dasar, enam tahun menunggu sekolah lanjutan, sampai akhirnya kuliah dan menunggu jodoh. Menunggu dianugerahi bayi, dan melanjutkan masa menunggu dan menapaki fase hidup selanjutnya. Siang menunggu malam, malam menanti siang, dengan penggalan-penggalan kisah yang menjadi skenario perjalanan hidup manusia.

Rani mengerjap-mengerjapkan matanya, ia sedikit linglung antara pagi siang sore atau malam. Lampu kamar yang menyala terang menyadarkan dirinya bahwa ia sempat tertidur selepas Maghrib tadi. Perutnya berbunyi, dan ia menyadari bahwa apa yang baru saja dialaminya hanyalah sebuah mimpi. Ia kecewa di alam nyata. Belum tampak kedatangan suaminya, biasanya lampu depan dipadamkan jika suaminya sudah pulang, namun ini masih tampak terang bahkan pintu rumah yang biasanya selepas shalat Isya ia kunci, terlewat begitu saja, untungnya ia tinggal di daerah yang cukup aman.

Jam dinding di ruang tamu depan menunjukkan angka mendekati tengah malam. Tak biasanya suaminya seterlambat ini, paling lambat biasanya pukul sepuluh, dan Rani pasti menanyakan kabar keberadaannya. Karena ia tertidur cukup lama, ia tak sempat bertanya keberadaan suaminya melalui pesan singkat. Ia mencoba menghubungi, tersambung namun tidak ada respon berarti hingga tiga kali panggilan tak terjawab.

Di teras rumah ia melamun, di depan bisik bising laron yang sebagian mereka tercerabut sayapnya. Tak bisa terbang. Sebagian berkerumun di seputar lampu berkeliling layaknya ritual tawaf mengelilingi Ka’bah.

Rani sering merasa lelah sendiri, menghadapi seorang lelaki yang bahkan hatinya saja telah patah sebelum ia belajar mencintai, karena kenangan kejadian yang tak terhapus dari memorinya di masa kanak-kanaknya. Konsep cinta belum sempurna terpola di persepsi sederhana anak seusianya, namun menjadi tertangkap dengan pola lain yang tidak mencerminkan substansinya. Ia patah, namun ia harus menjadi batang, penopang ranting bengkok yang ditopangnya.

Tengah malam ia masuk rumah yang belum lama ia tempati itu. Jalanan depan rumah masih terdengar suara bising kendaraan sesekali, tidak seramai beberapa jam lalu. Ia menyeduh teh dalam gelas stainless kecil bergambar bunga yang seminggu lalu ia dapat dari suvenir pernikahan kawan mengajarnya. Setengah sendok makan gula cukup untuk membuat rasanya manis, sebab ia lebih suka rasa asin ketimbang manis. Begitupun juga karakternya, ia lebih suka berbicara apa adanya, mendengar yang memang benar terjadi walaupun kurang enak di hati, daripada harus manis di bibir namun sejatinya sianida. Pikirannya mengembara entah kemana, meskipun semua adalah tentang suaminya.

Di awal-awal pernikahan, Rani tak segan mengomel di pesan singkat, atau menyatakan kecurigaan pada suaminya secara langsung dan terang-terangan, tapi setelah masa satu tahun terlewat dia lebih cenderung terkendali, amarah sering ia bingkai dan bahkan ia rencanakan.

“Mas, kamu lupa cium keningku lho tadi pagi”, “Makanya aku seharian malas-malasan”, percakapan semacam itu biasa, dulu.

“Mas, pulangnya jangan malam-malam ya”, pesan-pesan rindu seperti itu lazim, dulu.

Benarlah saja, apa yang semua orang katakan tentang pernikahan. Maka dari itu, para pakar relationship dan konsultan pernikahan selalu menasihatkan bahwa menjaga keharmonisan sebuah hubungan itu adalah dengan terbukanya komunikasi, sepahit apapun yang dibicarakan, jangan sampai diendapkan lalu membusuk dan pada saatnya ia akan menjadi semacam amarah terpendam yang lantas meledak seperti bom waktu.

Ia memang kerap bertengkar dengan suaminya, mulai dari masalah lupa membuang sampah, cucian kemeja yang masih kotor, sampai masalah inti perihal mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Puncaknya adalah tadi pagi, suaminya memaki, hanya karena ia memercik air di wajah suaminya untuk bangun, sebab sekian kali diusik ia tak juga bangun, lantas karena teramat lelah dengan tumpukan pekerjaan akreditasi di kampus terbawa hingga ke rumah, beban itu tumpah juga akhirnya.

“Perempuan mandul! “, Rani bergeming, mementahkan saja perkataan itu, sebab ia tahu beban pekerjaan suaminya sedang bertumpuk. Rumah masih mengontrak, gaji bulanan harus ia anggarkan juga untuk terapi dan program kehamilan, ditambah lembur yang hampir setiap hari di kampus untuk mengerjakan hal-hal teknis yang sebenarnya bisa dikerjakan anak buahnya namun harus ia juga yang menangani. Ia sebenarnya tak begitu mempermasalahkan kata-kata kasar pertama kali dari mulut suaminya itu, yang membuat ia lemah sebenarnya hanya karena suaminya belakangan menjadi lebih tertutup dari yang sebelumnya ia kenal. Jika dulu setiap makan malam yang lebih sering terlambat hingga pukul sembilan malam suaminya kerap bercerita, bercerita apa saja yang terjadi di jalan, bahkan di kantor, bahkan menu lauk makan siang di warteg saja tak pernah dilewatkan dalam topik cerita. Lain hal yang terjadi belakangan ini. Dan Rani paham betul dengan sekecil perubahan yang terjadi pada suaminya entah mungkin disengaja atau entahlah, ia tapi begitu merasakan bahwa suaminya telah berubah. Tiap ditanya kenapa, justeru ia malah marah. Apalagi semenjak mereka naik gunung Papandayan beberapa waktu lalu, atau mungkin sejak ia bertanya perihal mahasiswi bernama Dinda yang terlihat begitu akrab dengan suaminya belakangan ini.

Su’udzon saja kamu, badan capek kerja jadi makin pusing pulang ke rumah “, jawaban yang mungkin pernah diutarakan semua suami ketika ditanya istrinya perihal keterlambatan pulang dengan sedikit bumbu-bumbu curiga rasa penghakiman. Tapi bagi Rani, jawaban itu sarkas.

”Mas, aku direkomendasikan kawanku untuk beli kurma muda dan serbuk buah dzurriyyat. Boleh aku beli? Tapi uangku tinggal buat belanja besok”, suatu malam pernah ia mengawali pembicaraan saat suaminya pulang menjelang Maghrib, ia tetap berikhtiar semampu ia mampu lakukan, selebihnya biarlah Tuhan yang memutuskan.

“Gaji kamu kan ada”, jawab suaminya singkat sambil menyendok buru-buru nasi di hadapannya.

“Lagian kamu juga boros, kemarin itu beli sepatu lagi, padahal kan sepatu empat masih bagus semua”, sepatu yang keempat-empatnya dominan berwarna cokelat kulit dan kulit sintetis bertengger indah di rak sepatu di samping pintu masuk ruang utama.

“Aku beli karena butuh Mas, untuk acara camping anak-anak, mana mungkin juga aku pakai sepatu gunung”, bulan-bulan belakangan ini memang pengeluaran rumah tangga mereka lebih besar dari sebelumnya.

“Konsultasi ke dokter saja lah pakai BPJS, Sayang kan bayar iuran setiap bulan tapi tidak bermanfaat”, Husin teringat iuran BPJS yang tarifnya sudah naik seratus persen, beban bulanan semakin hari semakin bertambah. Begini saja mereka belum tertambah beban biaya pendidikan anak, apatah lagi jika nanti ditakdirkan punya anak. Kepala Husin semakin berat.

“Mana ada Mas, konsultasi pakai fasilitas pemerintah”, Rani sedikit sewot, dia tahu betul bahwa suaminya paham, tetapi sengaja sekali memantik api konflik.

“Yakali”, suaminya santai, ngeloyor ke depan menyalakan televisi.

“Uang rokok saja coba dikurangi, bantu aku ikhtiar”, Rani yang sedikit kesal, dari awal ia merasa dihakimi karena dituduh dialah yang selama ini infertil, sedang Husin sama sekali tak mau diajak kompromi.

”Urusi saja dulu itu sampah sudah tiga hari tak dibuang, busuk, sama seperti hatimu, su’udzon melulu. Percuma kerudung panjang-panjang, ngaji tiap hari, tidak pernah bersyukur, jangan malah bikin aku tambah sakit kepala”, pertengkaran demi pertengkaran memang berakar dari ketidakjua hadiran seorang keturunan, yang satu menyalahkan, yang lainnya enggan disalahkan. Masalah sepele bisa mudah sekali tersulut lantaran ego yang tak mau disaingi satu sama lain, keduanya masih sama-sama ingin menjadi api ketimbang melebur emosi dengan sedikit menekan tingginya harga diri.

Hingga di suatu hari yang janggal tak sengaja ia menemukan celana dalam wanita yang ia tahu persis itu bukan miliknya. Ia simpan baik-baik, ia telusuri diam-diam. Setelah tahu itu milik siapa, baru ia klarifikasi.

“Oh, itu punya kakakku”, tiba-tiba saja ia melunak, tidak tinggi suara seperti biasanya.

“Oh”, “Kenapa ada di tasmu?”

“Tadinya aku mau kasih ke kamu, dia beli tapi kekecilan, sudah lama itu”,

“Kapan ketemu kakak?”,

“Memangnya kamu mau ikut?”, “Tiap hari kamu sibuk dengan anaknya orang, sampai lupa celana dalam cuma punya lima, itupun sudah belel semua, istri itu mbok yang cantik ketemu suami di rumah”,

“Tapi itu celananya seperti sudah dipake, lagian juga kenapa tidak langsung kasih ke aku? ”

Males ah, ngobrol sama kamu, ujung-ujungnya aku salah melulu”, Husin mematikan televisi, memilih masuk kamar.

Bagi Rani, ia cukup tahu. Celana dalam dan segala ketertutupan, itu absurd.

Sampai akhirnya ia menemukan bukti dari chat yang sengaja ia baca diam-diam dari gawai suaminya. Bukti bahwa memang ada sesuatu yang terjadi antara suami dan mahasiswa yang selama ini dekat dengannya. Kedekatan mereka sudah terlalu dalam dan di luar batas, bukti itu menyatakan bahwa perzinahan telah terjadi di antara mereka.

Terisak ia di depan ayahnya, padahal seumur dia dibesarkan tak pernah ia menangis semenjadi itu, bahkan lebih menjadi ketimbang saat Bayu meninggalkannya untuk selamanya. Ayahnya diam, belum dapat mengemukakan jalan keluar untuk masalah putrinya. Anak gadisnya yang pernah patah hatinya karena ditinggal jodohnya, kini kembali menangis karena ingin meninggalkan jodohnya. Sambil membawa sebuah surat gugatan cerai. Tekatnya sudah bulat.

“Keburukan masih bisa diperbaiki nak. Allah tidak tidur. Allah itu suka memberi petunjuk.” “Masih ada solusi selain surat ini”, negosiasi yang akan sia-sia.

Kalimat Ayahnya mudah-mudahan dapat melonggarkan tekanan kesedihan anaknya. Ada yang mengalir di hati laki-laki tujuh puluh tahun itu, tapi tidak tampak di pipinya.

“Pernikahan yang baik itu nak, pernikahan yang menyatukan dua manusia tidak hanya sampai di dunia saja, tapi juga nanti di akhirat sana”, “Ayah tidak tahu seberapa buruk keburukan suamimu yang kau sebut sangat buruk itu, tapi jika keburukan itu membuatmu menjadi tidak bersyukur dan menghabiskan batas rasa sabar yang sebenarnya tak berbatas, silakan, Ayah tidak akan melarangmu”, Ayah ridho.

Sampai disitu, ia tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Dia masih mengumpulkan keberanian untuk meminta klarifikasi kepada Dinda, wanita yang telah membuat hati suaminya pergi dari hatinya. Wanita yang normal, cantik, muda, cerdas dan sekufu pemikiran dengan mahagurunya itu. Wanita yang banyak meminta bantuan pada suaminya, dan suaminya rela membantunya. Wanita yang memberikan penghargaan diri terbaik untuk suaminya, melebihi penghargaan diri yang diberikan oleh istrinya sendiri.

Ia kehilangan Husin yang mendambakannya sebab kedewasaannya, ia kehilangan Husin yang menerima segala kurangnya. Ia kehilangan keikhlasan, kesadaran dan kerelaan bahwa takdir kerap diutus Tuhan untuk membajakan jiwa, menegarkan nurani, dan meneguhkan harapan bahwa segalanya memang kuasa Tuhan. Menjalani dengan sebaik-baiknya kehidupan dengan penerimaan terbaik apa yang bisa diupayakan, selebihnya apa yang tak mampu manusia kendalikan biarkan tangan Tuhan yang bertindak.

Banyak pernikahan yang terlihat manis, namun beberapa pernikahan ada yang berat. Pernikahan yang baik adalah yang saling menumbuhkan. Namun jika keduanya tak bertumbuh bersama, maka salah satu harus rela mati lalu meleburkan diri dengan tanah menjadi pupuk yang menyelamatkan kehidupan yang lainnya. Tak ada rumah tangga yang tanpa konflik, masing-masing pernikahan memiliki ujiannya sendiri-sendiri. Di balik harmonisnya pernikahan, ada ujian yang susah payah sedang dihadapi untuk dilewati. Dibalik gambar saling kait mesra, ada jarak yang sedang diperjuangkan untuk tetap sejalan seirama. Perjalanan menikah, adalah perjalanan merelakan diri berbagi hidup dengan orang lain, belajar menyempurnakan hidup orang lain dan rela disempurnakan oleh orang lain.

Pernikahan yang baik adalah yang tumbuh bersinergi. Ada yang cintanya tumbuh menjadi gunung, menjulang gagah perkasa dikenal dunia, ada pula yang cintanya tumbuh lemah lembut menjadi rumput namun tak pernah goyah oleh angin ribut. Namun ada satu hal yang perlu diinsyafi, dengan menikah tidak pernah ada manusia yang saling memiliki. Masing-masing hanya saling dititipi, lalu diuji, apakah kebersamaan itu memberi makna bagi diri, sesama dan juga semesta.

Seburuk apapun keadaan Rani, ia akan tetap mencoba bertahan, selama itu bukan pengkhianatan. Hidup hanya sementara, apakah ia rela hidupnya yang sementara itu dihabiskan bersama orang yang telah menodai segala kepercayaannya. Sebab bukan lagi hatinya yang terluka, tapi kepercayaannya.

Husin masih gelisah, khawatir dengan hal-hal yang akan terjadi. Dia sadar telah khilaf, tapi sungguh itu hanya sekali, kemarin lusa. Sebelumnya mana berani dia. Entah setan dari mana yang menggodanya hingga kemudian membuat Dinda menangis. Dia merasa menjadi lelaki yang jahat, telah sering membuat istrinya menangis, dan kali ini ia juga telah membuat Dinda menangis.

Tiba-tiba, telpon di meja kerjanya berdering, gawainya memang beberapa hari raib, dan sepertinya positif disita istrinya.

“Pak, ada istri Bapak bersamaku. Datang please di cafe biasa, sekarang”

Telapak tangan, ketiak, pelipisnya mendadak basah, oleh keringatnya sendiri. Padahal AC tersetting enam belas derajat Celsius.

Apakah akan tamat sampai disini riwayat pernikahan mereka? Hanya istrinya dan Tuhan yang tahu.

Bersambung…